Sabtu, 01 November 2008

Metode Pembelajaran Quantum


Pada saat ini kita masih sering melihat sistem pembelaran yang masih konvensional. Ketika guru mengajar di kelas selalu menempatkan diri sebagai pusat perhatian siswa. Disamping itu adanya kesan bahwa kegiatan mengajar hanya sebagai alat untuk mengejar target kurikulum saja dan untuk mendapatkan nilai akademik siswa. Sementara itu anak menguasai materi atau tidak guru cenderung masah bodoh.
Pengajaran seringkali dilakukan guru hanya dengan menerangkan sambil membaca buku atau menulis di papan tulis, mendikte, mencongak, menanyakan soal kepada anak, dan memberikan ulangan harian sekalipun anak belum paham materi yang akan dites. Komposisi murid dalam kelas pun tak diperhatikan. Satu kelas bisa dijejali 30 sampai 50 murid yang duduk berbaris dari depan ke belakang tanpa memperhitungkan bahwa dengan begitu interaksi guru dan anak didik tidak akan merata. Anak didik sekadar menjadi obyek di hadapan guru, dan sebagai akibatnya anak jadi bersikap pasif. Dan anak yang didik dengan target seperti itu, tak akan mendapat gambaran mengenai kondisi kehidupan di masyarakat yang sebenarnya. Padahal, sejak masuk TK hingga lulus SMA, anak telah menghabiskan kurang lebih 15 ribu jam selama hidupnya, tapi dia tidak siap saat terjun ke masyarakat. Dalam pendidikan konvensional tidak diajarkan nilai-nilai yang bisa dipegang dan dianut, sehingga pada diri anak didik tidak terbentuk karakter yang baik. Selain itu anak didik juga tidak dibekali metode pemecahan masalah. Karena itu janganlah heran jika sekarang ini sering kita menemukan sarjana yang belum siap memasuki dunia kerja. (Nakita, 2004 : 20-21).
Dalam Standar Nasional Pendidikan dijelaskan bahwa, standar proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaksi, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. (Peraturan Pemerintah Nomor 19, 2005 : Bab IV Pasal 19 ayat 1 ).
Melihat kenyataan diatas perlu kiranya kita mencari solusi pemecahan yang tepat untuk mengatasi permasalahan di atas. Pertanyaannya sistem pengajaran yang bagaimanakah yang dapat dijadikan alternatif untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia? Metode pengajaran yang bagaimanakah yang dapat dijadikan alternatif yang terbaik untuk anak didik kita?
Pada makalah ini penulis mencoba menerapkan sistem quantum teaching sebagai metode pembelajaran alternatif yang diharapkan bisa diterima oleh siswa sekaligus bisa meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia

Konsep Pendidikan Nonkonvensional

Berangkat dari banyaknya kekurangan sistem pendidikan konvensional, kini para pakar pendidikan dan berbagai kalangan yang tertarik dalam bidang ini mulai mensosialisasikan metode/sistem pendidikan alternatif yang jauh berbeda dengan sistem pendidikan konvensional. Konsep pendidikan nonkonvensional menerapkan hal-hal sebagai berikut:

1. Guru sebagai fasilitator, observer dan desainer.

Guru menempatkan diri sebagai fasilitator ditengah-tengah anak didik yang diperbolehkan aktif mengemukakan pendapat. Dengan demikian, anak didik dapat menikmati pembelajarannya.
Guru juga bertuga s sebagai observer dan desainer. Dalam berbicara, guru selalu menggunakan kata “maaf, tolong, permisi, terima kasih”. Contoh, “Maaf, Haris, kalau kamu dipukul rasanya bagaimana? Sakit, kan? Nah, begitu juga teman kamu yang kamu pukul itu. Sekarang kamu harusnya bagaimana?”
Gurupun sangat menjaga kedekatan hubungan dengan anak-anak didiknya. Oleh karena itu guru harus sering berdiskusi dan berinteraksi dengan anak, sekalipun bukan mengenai pelajaran dan di luar jam pelajaran.

2. Pengajaran.

Menggunakan metode Active learning. Anak didik dibiasakan untuk mau berdialog, berbagi, dan berani mengungkapkan pendapat ataupun penemuannya, baik pada guru ataupun temannya. Sehingga mereka bisa memecahkan sebuah kasus atau permasalahan bersama-sama.

3. Memperhatikan Keunikan/kebutuhan anak didik.

Contoh, sebelum pelajaran dimulai diadakan dulu penawaran mata pelajaran kepaa anak-anak. Jika dalam satu hari terdapat 4 mata pelajaran, maka mereka bebas memilih pelajaran mana yang ingin dibahas dulu. Anak-anak yang mempunyai pilihan sama akan dikumpulkan dalam satu kelompok, sehingga semua anak pada hari itu bisa mempelajari semua mata pelajaran yang dijadwalkan.
Dari itu kita bisa melihat, bahwa sistem pendidikan alternatif sama sekali tidak memaksakan anak. Dengan begitu mereka belajar berdasarkan keinginan atau minatnya saat itu. Hasilnya, topik yang dipelajari akan lebih mudah diserap anak.
Selain itu, anak juga tak langsung dihadapkan pada materi pelajaran di kelas. Meareka sebelumnya diberi waktu bermain dan bereksplorasi di halaman sekolah atau istilahnya dilakukan zero mind. Bagaimanapun, hasrat anak bereksplorasi sangat besar. Jika hal itu idak dipuaskan atau disalurkan terlebih dahulu, bisa-bisa anak tak mampu tahan lama di kelas dan berkonsentrasi mengikuti pelajaran.

4. Ada sanksi.

Walaupun anak didik diberikan diberikan kebebasan seluasnya, orang tua tak perlu khawatir anaknya jadi kebal terhadap kepatuhan dan kedisiplinan. Sebab sekalipun terlihat bebas, sistem pendidikan alternatif juga menerapkan sanksi untuk anak didiknya. Bedanya dari yang konvensional, sanksi yang berlaku di sini dibuat atas kesepakatan bersama anak dengan guru. Ketika kesepakatan itu dilanggar, maka anak harus mau menanggung akibatnya.

5. Ciri fisik sekolah.

Memiliki halaman sekolah sebagai tempat bermain dan bereksplorasi yang memadai. Ada taman bunga, lapangan rumput dan lapangan tempat berolah raga.
Penataan interior kelas dibuat tidak kaku, tapi mengikuti kebutuhan interaksi guru-murid yang biasanya terdiri atas 2 guru dan 15-20 murid.
Meskipun jumlah murid di satu kelas tidak banyak, kursi dan meja yang disediakan bisa saja lebih sedikit. Misalnya, untuk kelas yang berisi 20 murid, maka kursi dan meja yang disediakan bisa saja cuma 10. Sisanya, anak bisa belajar beralaskan karpet dengan meja kecil yang ada didepan kelas, Jadi anak diberi kebebasan untuk memilih posisi tempat duduknya saat mengikuti pelajaran. Kesempatan memilih tempat duduk ini dilakukan secara bergilir.

Agar terpenuhi kenyamanan ruang geraknya, ukuran kelas pun, disesuaikan dengan kebutuhan. Paling tidak, satu anak membutuhkan ruang gerak seluas satu meter persegi. Jadi kalau muridnya ada 16, maka luas ideal kelas adalah 16 meter persegi.

Salah satu ciri sistem pendidikan alternatif adalah menggunakan sistem pengajaran dengan metode active learning . Salah satu jenis active learning yang tengah didengung-dengungkan belakangan ini adalah quantum learning. Metode pembelajaran ini mengupayakan pengelolaan kelas yang kondusif untuk menumbuhkan sikap positif dalam proses belajar. Salah satu syarat utama untuk menciptakan kelas yang kondusif ialah guru harus memperhatikan keunikan yang dimiliki setiap anak didik.

Dalam metode quantum diterapkan rumus AMBAK yang merupakan singkatan dari :

A : Apa yang dipelajari

Dalam pelajaran menggambar, misalnya, guru hanya menetapkan pelajaran menggambar, anak didiklah yang menentukan tema gambarnya sesuai minat masing-masing. Misalnya, mereka dibawa ke sebuah lapangan lalu dibiarkan menggambar hal-hal yang disukai.

M : Manfaat

Kadang guru lupa menjelaskan manfaat yang dipearoleh dari pelajaran yang diajarkan. Contohnya, pelajaran tentang fungsi serangga. Walaupun kecil, tanpa serangga, banyak kehidupan di alam ini bisa berhenti. Intinya guru harus memberi kemampuan memahami situasi yang sebenarnya (insight), sehingga murid tertantang untuk mempelajari semua hal dengan lebih mendalam.

BAK : Bagiku

Manfaat apa yang akan saya dapat di kemudian hari dengan mempelajari ini semua. Misalnya, pelajaran bahasa Mandarin bagi anak yang hidup di daerah pecinan akan sangat bermanfaat. Terlebih bila nantinya ia bercita-cita menjadi pelaku bisnis. Namun, Tidak begitu dengan anak-anak di Bali yang lebih memerlukan pelajaran seni tari dari pada bahasa Mandarin. Jadi, quantum lebih menekankan pada pembelajaran yang sarat makna dan sistem nilai yang bisa dikontribusikan kelak saat anak dewasa nanti.

Teknik pembelajaran quantum menggunakan teknik TANDUR, yakni :

T : Tumbuhkan minat belajar.
A : Aktifkan minat belajar.
N : Namai semua konsep pembelajaran.
D : Demontrasikan, dengan maksud supaya anak lebih memahami pelajaran.
U : Ulangi, semakin sering diulang maka semakin kuat pelajaran melekat dalam ingatan.
R : Rayakan, maksudnya apa yang sudah dipelajari anak ditunjukkan, sehingga orang lain juga tahu.

Seiring dengan perkembangan dunia pendidikan, ditemukan sebuah pendekatan pengajaran yang disebut dengan Quantum Teaching, dikembangkan oleh seorang guru dalam pembelajaran. Quantum Teaching sendiri berawal dari sebuah upaya Dr Georgi Lozanov, pendidik asal Bulgaria, yang bereksperimen dengan suggestology. Prinsipnya, sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil belajar.

Pada perkembangan selanjutnya, Bobbi de Porter (penulis buku best seller Quantum Learning dan Quantum Teaching), murid Lozanov, dan Mike Hernacki, mantan guru dan penulis, mengembangkan konsep Lozanov menjadi Quantum Learning. Metode belajar ini diadopsi dari beberapa teori. Antara lain sugesti, teori otak kanan dan kiri, teori otak triune, pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik) dan pendidikan holistik.

Quantum Teaching ini diibaratkan mengikuti konsep Persamaan Fisika Quantum yaitu :
E = mc2
E = Energi (antusiasme, efektivitas belajar-mengajar,semangat)
M = massa (semua individu yang terlibat, situasi, materi, fisik)
c = interaksi (hubungan yang tercipta di kelas)
Berdasarkan persamaan ini dapat dipahami, interaksi serta proses pembelajaran yang tercipta akan berpengaruh besar sekali terhadap efektivitas dan antusiasme belajar pada peserta didik.
Kata Quantum sendiri berarti interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Jadi Quantum Teaching menciptakan lingkungan belajar yang efektif, dengan cara menggunakan unsur yang ada pada siswa dan lingkungan belajarnya melalui interaksi yang terjadi di dalam kelas.
Bila metode ini diterapkan, maka guru akan lebih mencintai dan lebih berhasil dalam memberikan materi serta lebih dicintai anak didik karena guru mengoptimalkan berbagai metode.
Apalagi dalam Quantum Teaching ada istilah ‘Bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan hantarlah dunia kita ke dunia mereka’. Hal ini menunjukkan, betapa pengajara dengan Quantum Teaching tidak hanya menawarkan materi yang mesti dipelajari siswa. Tetapi jauh dari itu, siswa juga diajarkan bagaimana menciptakan hubungan emosional yang baik dalam dan ketika belajar.
Selain itu, ada beberapa prinsip Quantum Teaching, yaitu:
1. Segalanya berbicara, lingkungan kelas, bahasa tubuh, dan bahan pelajaran semuanya menyampaikan pesan tentang belajar.
2. Segalanya bertujuan, siswa diberi tahu apa tujuan mereka mempelajari materi yang kita ajarkan.
3. Pengalaman sebelum konsep, dari pengalaman guru dan siswa diperoleh banyak konsep.
4. Akui setiap usaha, menghargai usaha siswa sekecil apa pun.
5. Jika layak dipelajari, layak pula dirayakan, kita harus memberi pujian pada siswa yang terlibat aktif pada pelajaran kita. Misalnya saja dengan memberi tepuk tangan, berkata: bagus!, baik!, dll.
Lebih jauh, dunia pendidikan akan semakin maju ke depannya. Sebab, Quantum Teaching akan membantu siswa dalam menumbuhkan minat siswa untuk terus belajar dengan semangat. Apalagi Quantum Teaching juga sangat menekankan pada pentingnya bahasa tubuh. Seperti tersenyum, bahu tegak, kepala ke atas, mengadakan kontak mata dengan siswa dan lain-lain. Humor yang bertujuan agar KBM tidak membosankan.

Penutup
Pemaparan makalah ini memang tidak secara teknis pragmatis. Konsepsi-konsepsi alternatif solusi sistem pendidikan sebagai wahana untuk menutupi kekurangan sistem pendidikan konvensional masih dibutuhkan dalam kaitan membangun idealisme sistem pendidikan yang baik untuk kemajuan dan kecerdasan bangsa. Strategi kemudian perlu ditawarkan metode quantum teaching sebagai alternatif bentuk metode pembelajaran yang aktif dan menyenangkan anak didik. Tantangannya adalah bahwa masyarakat masih dalam posisi dinamis. Belum dapat ditemukan alternatif solusi yang tepat dan pasti sebagai rujukan sistem pendidikan nasional, karenanya wacana konsepsional dihadirkan di sini dalam rangka membangun idealitas sistem/metode pendidikan/pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang terus cenderung dinamis dan berkembang sampai saat ini.
Globalitas adalah realitas kekinian dengan berbagai kemungkinan perubahan Metode quantum teaching diharapkan dapat dijadikan salah satu alternatif metode pembelajaran yang aktif dan menyenangkan. Pemanfaatan sains dan teknologi sebagai media pembelajaran juga dibutuhkan untuk mencapai tingkat kemajuan seiring dengan globalitas di dunia pendidikan. Pada tataran berikutnya adalah konsisten dalam membangun metode pembelajaran yang kreatif dan sistem pendidikan yang menyenangkan. Yang pada akhirnya dukungan dari berbagai pihak yang bersimpati di dunia pendidikan dapat menjadikan alternatif metode pembelajaran quantum teaching sebagai solusi di dunia pendidikan. Guru merupakan faktor penting untuk memberikan pemahaman pengetahuan dan penanaman nilai kepada peserta didik. Harapan yang dapat disampaikan adalah guru hendaknya dapat berperan sebagai fasilitator, observer dan desainer dan tanggap terhadap perubahan dan perkembangan dunia pendidikan.
Kepada para rekan guru, semangat berkembang merupakan jawaban yang solusif untuk menjadikan metode quantum teaching sebagai metode alternatif dalam pembelajaran di sekolah. Selamat bekerja ……….!
Lumajang, 21 Januari 2008.

Daftar Rujukan

Universitas Negeri Malang (UM). 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Edisi
Keempat). Malang : Biro Administrasi Akademik, Perencanaan dan Sistem Informasi.

Nakita Cetakan Pertama. 2004. Panduan Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : PT Sarana Kinasih Satya Sejati.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. 2005. Jakarta : Tanpa Penerbit.

Bobbi DePorter, Mark Reardon, dan SarahSinger-Nourie. 2006. QuantumTeaching. Bandung : Penerbit Kaifa.

Read More......

Undang-Undang Guru Dan Dosen

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2005
TENTANG
GURU DAN DOSEN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional dalam bidang pendidikan
adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan
meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman,
bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan
masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa untuk menjamin perluasan dan pemerataan akses,
peningkatan mutu dan relevansi, serta tata pemerintahan
yang baik dan akuntabilitas pendidikan yang mampu
menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan
kehidupan lokal, nasional, dan global perlu dilakukan
pemberdayaan dan peningkatan mutu guru dan dosen secara
terencana, terarah, dan berkesinambungan;
c. bahwa guru dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan
kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan
nasional dalam bidang pendidikan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, sehingga perlu dikembangkan sebagai profesi
yang bermartabat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu dibentuk Undang-
Undang tentang Guru dan Dosen;
Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 22 d, dan Pasal 31 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4301);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG GURU DAN DOSEN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar,
dan pendidikan menengah.
2. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan
tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat.
3. Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor
adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih
mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.
4. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan
oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan
yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan
yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta
memerlukan pendidikan profesi.
5. Penyelenggara pendidikan adalah Pemerintah, pemerintah
daerah,
atau
masyarakat
yang
menyelenggarakan
pendidikan pada jalur pendidikan formal.
6. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan
yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan
formal dalam setiap jenjang dan jenis pendidikan.
7. Perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama adalah
perjanjian tertulis antara guru atau dosen dengan
penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang
memuat syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban para
pihak dengan prinsip kesetaraan dan kesejawatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
8. Pemutusan hubungan kerja atau pemberhentian kerja
adalah pengakhiran perjanjian kerja atau kesepakatan kerja
bersama guru atau dosen karena sesuatu hal yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara guru
atau dosen dan penyelenggara pendidikan atau satuan
pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
9. Kualifikasi akademik adalah ijazah jenjang pendidikan
akademik yang harus dimiliki oleh guru atau dosen sesuai
dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di
tempat penugasan.
10. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan,
dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh
guru
atau
dosen
dalam
melaksanakan
tugas
keprofesionalan.
11. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik
untuk guru dan dosen.
12. Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan
yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga
profesional.
13. Organisasi profesi guru adalah perkumpulan yang berbadan
hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk
mengembangkan profesionalitas guru.
14. Lembaga pendidikan tenaga kependidikan adalah perguruan
tinggi yang diberi tugas oleh Pemerintah untuk
menyelenggarakan
program
pengadaan
guru
pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta
untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu
kependidikan dan nonkependidikan.
15. Gaji adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen atas
pekerjaannya dari penyelenggara pendidikan atau satuan
pendidikan dalam bentuk finansial secara berkala sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
16. Penghasilan adalah hak yang diterima oleh guru atau dosen
dalam bentuk finansial sebagai imbalan melaksanakan tugas
keprofesionalan
yang
ditetapkan
dengan
prinsip
penghargaan atas dasar prestasi dan mencerminkan
martabat guru atau dosen sebagai pendidik profesional.
17. Daerah khusus adalah daerah yang terpencil atau
terbelakang; daerah dengan kondisi masyarakat adat yang
terpencil; daerah perbatasan dengan negara lain; daerah
yang mengalami bencana alam, bencana sosial, atau daerah
yang berada dalam keadaan darurat lain.
18. Masyarakat adalah kelompok warga negara Indonesia
nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan
dalam bidang pendidikan.
19. Pemerintah adalah pemerintah pusat.
20. Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten, atau pemerintah kota.
21. Menteri adalah menteri yang menangani urusan
pemerintahan dalam bidang pendidikan nasional.
BAB II
KEDUDUKAN, FUNGSI, DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional
pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang
diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan
sertifikat pendidik.
Pasal 3
(1) Dosen mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional
pada jenjang pendidikan tinggi yang diangkat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pengakuan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan
sertifikat pendidik.
Pasal 4
Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan
martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi
untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Pasal 5
Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan
martabat dan peran dosen sebagai agen pembelajaran,
pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta
pengabdi kepada masyarakat berfungsi untuk meningkatkan
mutu pendidikan nasional.
Pasal 6
Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan
untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan
mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara
yang demokratis dan bertanggung jawab.
BAB III
PRINSIP PROFESIONALITAS
Pasal 7
(1) Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan
khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai
berikut:
a. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
b. memiliki
komitmen
untuk
meningkatkan
mutu
pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia;
c. memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang
pendidikan sesuai dengan bidang tugas;
d. memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan
bidang tugas;
e. memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas
keprofesionalan;
f. memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan
prestasi kerja;
g. memiliki
kesempatan
untuk
mengembangkan
keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar
sepanjang hayat;
h. memiliki
jaminan
perlindungan
hukum
dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan; dan
i. memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas
keprofesionalan guru.
(2) Pemberdayaan profesi guru atau pemberdayaan profesi
dosen diselenggarakan melalui pengembangan diri yang
dilakukan secara
demokratis, berkeadilan, tidak
diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi
hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
kemajemukan bangsa, dan kode etik profesi.
BAB IV
GURU
Bagian Kesatu
Kualifikasi, Kompetensi, dan Sertifikasi
Pasal 8
Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat
pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Pasal 9
Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau
program diploma empat.
Pasal 10
(1) Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang
diperoleh melalui pendidikan profesi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kompetensi guru
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan.
(2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi
yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang
terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah.
(3) Sertifikasi
pendidik
dilaksanakan
secara
objektif,
transparan, dan akuntabel.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi pendidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
Setiap orang yang telah memperoleh sertifikat pendidik memiliki
kesempatan yang sama untuk diangkat menjadi guru pada
satuan pendidikan tertentu.
Pasal 13
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan
anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik dan
sertifikasi pendidik bagi guru dalam jabatan yang diangkat
oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai anggaran untuk
peningkatan kualifikasi akademik dan sertifikasi pendidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban
Pasal 14
(1) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:
a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup
minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;
b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan
tugas dan prestasi kerja;
c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas
dan hak atas kekayaan intelektual;
d. memperoleh
kesempatan
untuk
meningkatkan
kompetensi;
e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana
pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas
keprofesionalan;
f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan
ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau
sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah
pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-
undangan;
g. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam
melaksanakan tugas;
h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi
profesi;
i. memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan
kebijakan pendidikan;
j. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan
meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi;
dan/atau
k. memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam
bidangnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak guru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 15
(1) Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a
meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta
penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan
fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang
terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan
dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
(2) Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah
diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan
perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
Pasal 16
(1) Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang telah
memiliki
sertifikat
pendidik
yang
diangkat
oleh
penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat.
(2) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang
diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa
kerja, dan kualifikasi yang sama.
(3) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja
negara (APBN) dan/atau anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan profesi guru
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan
tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 ayat (1) kepada guru yang diangkat oleh satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan
subsidi tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang diangkat oleh satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan subsidi tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan
belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja
daerah.
Pasal 18
(1) Pemerintah memberikan tunjangan khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang
bertugas di daerah khusus.
(2) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang
diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa
kerja, dan kualifikasi yang sama.
(3) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah
daerah di daerah khusus, berhak atas rumah dinas yang
disediakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat (1) merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh
dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan,
beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan
untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru,
pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin
terwujudnya maslahat tambahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai maslahat tambahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 20
Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban:
a.
merencanakan
pembelajaran,
melaksanakan
proses
pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi
hasil pembelajaran;
b.
meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik
dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
c.
bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar
pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi
fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial
ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
d.
menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum,
dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
e.
memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Bagian Ketiga
Wajib Kerja dan Ikatan Dinas
Pasal 21
(1) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat memberlakukan
ketentuan wajib kerja kepada guru dan/atau warga negara
Indonesia lainnya yang memenuhi kualifikasi akademik dan
kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai guru di
daerah khusus di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan warga negara
Indonesia sebagai guru dalam keadaan darurat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 22
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat menetapkan
pola ikatan dinas bagi calon guru untuk memenuhi
kepentingan pembangunan pendidikan nasional atau
kepentingan pembangunan daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi
calon guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
(1) Pemerintah mengembangkan sistem pendidikan guru ikatan
dinas
berasrama
di
lembaga
pendidikan
tenaga
kependidikan untuk menjamin efisiensi dan mutu
pendidikan.
(2) Kurikulum pendidikan guru pada lembaga pendidikan
tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus mengembangkan kompetensi yang diperlukan untuk
mendukung pelaksanaan pendidikan nasional, pendidikan
bertaraf internasional, dan pendidikan berbasis keunggulan
lokal.
Bagian Keempat
Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan,
dan Pemberhentian
Pasal 24
(1) Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dalam
jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam kompetensi
secara merata untuk menjamin keberlangsungan satuan
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal serta
untuk menjamin keberlangsungan pendidikan dasar dan
menengah yang diselenggarakan oleh Pemerintah.
(2) Pemerintah provinsi wajib memenuhi kebutuhan guru, baik
dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun dalam
kompetensi
secara
merata
untuk
menjamin
keberlangsungan pendidikan menengah dan pendidikan
khusus sesuai dengan kewenangan.
(3) Pemerintah kabupaten/kota wajib memenuhi kebutuhan
guru, baik dalam jumlah, kualifikasi akademik, maupun
dalam kompetensi secara merata untuk menjamin
keberlangsungan pendidikan dasar dan pendidikan anak
usia dini jalur pendidikan formal sesuai dengan
kewenangan.
(4) Penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan anak usia
dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan
menengah
yang
diselenggarakan
oleh
masyarakat wajib memenuhi kebutuhan guru-tetap, baik
dalam
jumlah,
kualifikasi
akademik,
maupun
kompetensinya
untuk
menjamin
keberlangsungan
pendidikan.
Pasal 25
(1) Pengangkatan dan penempatan guru dilakukan secara
objektif dan transparan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(2) Pengangkatan dan penempatan guru pada satuan
pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah atau
pemerintah daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Pengangkatan dan penempatan guru pada satuan
pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dilakukan oleh
penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang
bersangkutan
berdasarkan
perjanjian
kerja
atau
kesepakatan kerja bersama.
Pasal 26
(1) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah
daerah dapat ditempatkan pada jabatan struktural.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan guru yang
diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada
jabatan struktural sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai guru pada satuan
pendidikan di Indonesia wajib mematuhi kode etik guru dan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 28
(1) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah
daerah
dapat
dipindahtugaskan
antarprovinsi,
antarkabupaten/antarkota,
antarkecamatan
maupun
antarsatuan pendidikan karena alasan kebutuhan satuan
pendidikan dan/atau promosi.
(2) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah
daerah dapat mengajukan permohonan pindah tugas, baik
antarprovinsi, antarkabupaten/antarkota, antarkecamatan
maupun antarsatuan pendidikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(3) Dalam hal permohonan kepindahan dikabulkan, Pemerintah
atau pemerintah daerah memfasilitasi kepindahan guru
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan
kewenangan.
(4) Pemindahan guru pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat diatur oleh penyelenggara
pendidikan atau satuan pendidikan yang bersangkutan
berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja
bersama.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahan guru
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
(1) Guru yang bertugas di daerah khusus memperoleh hak yang
meliputi kenaikan pangkat rutin secara otomatis, kenaikan
pangkat istimewa sebanyak 1 (satu) kali, dan perlindungan
dalam pelaksanaan tugas.
(2) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah
daerah wajib menandatangani pernyataan kesanggupan
untuk ditugaskan di daerah khusus paling sedikit selama 2
(dua) tahun.
(3) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah
daerah yang telah bertugas selama 2 (dua) tahun atau lebih
di daerah khusus berhak pindah tugas setelah tersedia guru
pengganti.
(4) Dalam hal terjadi kekosongan guru, Pemerintah atau
pemerintah daerah wajib menyediakan guru pengganti
untuk menjamin keberlanjutan proses pembelajaran pada
satuan pendidikan yang bersangkutan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai guru yang bertugas di
daerah khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 30
(1) Guru dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatan
sebagai guru karena:
a. meninggal dunia;
b. mencapai batas usia pensiun;
c. atas permintaan sendiri;
d. sakit jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat
melaksanakan tugas secara terus-menerus selama 12
(dua belas) bulan; atau
e. berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja
bersama antara guru dan penyelenggara pendidikan.
(2) Guru dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatan
sebagai guru karena:
a. melanggar sumpah dan janji jabatan;
b. melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja
bersama; atau
c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas selama 1
(satu) bulan atau lebih secara terus-menerus.
(3) Pemberhentian guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(4) Pemberhentian
guru
karena
batas
usia
pensiun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan
pada usia 60 (enam puluh) tahun.
(5) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah
daerah yang diberhentikan dari jabatan sebagai guru,
kecuali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
huruf b, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai
pegawai negeri sipil.
Pasal 31
(1) Pemberhentian guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (2) dapat dilakukan setelah guru yang bersangkutan
diberi kesempatan untuk membela diri.
(2) Guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
masyarakat yang diberhentikan dengan hormat tidak atas
permintaan sendiri memperoleh kompensasi finansial sesuai
dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
Bagian Kelima
Pembinaan dan Pengembangan
Pasal 32
(1) Pembinaan dan pengembangan guru meliputi pembinaan
dan pengembangan profesi dan karier.
(2) Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional.
(3) Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui jabatan
fungsional.
(4) Pembinaan dan pengembangan karier guru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi penugasan, kenaikan
pangkat, dan promosi.
Pasal 33
Kebijakan strategis pembinaan dan pengembangan profesi dan
karier guru pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat ditetapkan
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 34
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan
mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi guru
pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
(2) Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat
wajib membina dan mengembangkan kualifikasi akademik
dan kompetensi guru.
(3) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan
anggaran untuk meningkatkan profesionalitas dan
pengabdian
guru
pada
satuan
pendidikan
yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat.
Pasal 35
(1) Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu
merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran,
menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih
peserta didik, serta melaksanakan tugas tambahan.
(2) Beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap
muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap
muka dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja guru
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Penghargaan
Pasal 36
(1) Guru yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau
bertugas
di
daerah
khusus
berhak
memperoleh
penghargaan.
(2) Guru yang gugur dalam melaksanakan tugas di daerah
khusus memperoleh penghargaan dari Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 37
(1) Penghargaan dapat diberikan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan
pendidikan.
(2) Penghargaan dapat diberikan pada tingkat sekolah, tingkat
desa/kelurahan,
tingkat
kecamatan,
tingkat
kabupaten/kota, tingkat provinsi, tingkat nasional,
dan/atau tingkat internasional.
(3) Penghargaan kepada guru dapat diberikan dalam bentuk
tanda jasa, kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagam,
dan/atau bentuk penghargaan lain.
(4) Penghargaan kepada guru dilaksanakan dalam rangka
memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik
Indonesia, hari ulang tahun provinsi, hari ulang tahun
kabupaten/kota, hari ulang tahun satuan pendidikan, hari
pendidikan nasional, hari guru nasional, dan/atau hari
besar lain.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 38
Pemerintah dapat menetapkan hari guru nasional sebagai
penghargaan kepada guru yang diatur dengan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Ketujuh
Perlindungan
Pasal 39
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi
profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan
perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
perlindungan
hukum,
perlindungan
profesi,
serta
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan,
ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau
perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua
peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
(4) Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mencakup perlindungan terhadap pemutusan hubungan
kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar,
pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan
terhadap profesi, dan pembatasan/pelarangan lain yang
dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.
(5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan terhadap
risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja,
kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan
lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.
Bagian Kedelapan
Cuti
Pasal 40
(1) Guru memperoleh cuti sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(2) Guru dapat memperoleh cuti untuk studi dengan tetap
memperoleh hak gaji penuh.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Organisasi Profesi dan Kode Etik
Pasal 41
(1) Guru membentuk organisasi profesi yang bersifat
independen.
(2) Organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan
kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan
profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat.
(3) Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi.
(4) Pembentukan organisasi profesi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(5) Pemerintah
dan/atau
pemerintah
daerah
dapat
memfasilitasi organisasi profesi guru dalam pelaksanaan
pembinaan dan pengembangan profesi guru.
Pasal 42
Organisasi profesi guru mempunyai kewenangan:
a. menetapkan dan menegakkan kode etik guru;
b. memberikan bantuan hukum kepada guru;
c.
memberikan perlindungan profesi guru;
d. melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru; dan
e.
memajukan pendidikan nasional.
Pasal 43
(1) Untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan
martabat guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan,
organisasi profesi guru membentuk kode etik.
(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi norma
dan etika yang mengikat perilaku guru dalam pelaksanaan
tugas keprofesionalan.
Pasal 44
(1) Dewan kehormatan guru dibentuk oleh organisasi profesi
(2) Keanggotaan serta mekanisme kerja dewan kehormatan guru
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam anggaran
dasar organisasi profesi guru.
(3) Dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan kode etik guru
dan memberikan rekomendasi pemberian sanksi atas
pelanggaran kode etik oleh guru.
(4) Rekomendasi dewan kehormatan profesi guru sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus objektif, tidak diskriminatif,
dan tidak bertentangan dengan anggaran dasar organisasi
profesi serta peraturan perundang-undangan.
(5) Organisasi profesi guru wajib melaksanakan rekomendasi
dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat
(3).
BAB V
DOSEN
Bagian Kesatu
Kualifikasi, Kompetensi, Sertifikasi, dan Jabatan Akademik
Pasal 45
Dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat
pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi
lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat
bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional.
Pasal 46
(1) Kualifikasi akademik dosen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 diperoleh melalui pendidikan tinggi program
pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang
keahlian.
(2) Dosen memiliki kualifikasi akademik minimum:
a. lulusan program magister untuk program diploma atau
program sarjana; dan
b. lulusan program doktor untuk program pascasarjana.
(3) Setiap orang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar
biasa dapat diangkat menjadi dosen.
(4) Ketentuan lain mengenai kualifikasi akademik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan keahlian dengan
prestasi luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditentukan oleh masing-masing senat akademik satuan
pendidikan tinggi.
Pasal 47
(1) Sertifikat pendidik untuk dosen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 diberikan setelah memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. memiliki pengalaman kerja sebagai pendidik pada
perguruan tinggi sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun;
b. memiliki jabatan akademik sekurang-kurangnya asisten
ahli; dan
c. lulus sertifikasi yang dilakukan oleh perguruan tinggi
yang menyelenggarakan program pengadaan tenaga
kependidikan pada perguruan tinggi yang ditetapkan oleh
Pemerintah.
(2) Pemerintah menetapkan perguruan tinggi yang terakreditasi
untuk menyelenggarakan program pengadaan tenaga
kependidikan sesuai dengan kebutuhan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat pendidik untuk
dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penetapan
perguruan tinggi yang terakreditasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 48
(1) Status dosen terdiri atas dosen tetap dan dosen tidak tetap.
(2) Jenjang jabatan akademik dosen-tetap terdiri atas asisten
ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor.
(3) Persyaratan untuk menduduki jabatan akademik profesor
harus memiliki kualifikasi akademik doktor.
(4) Pengaturan kewenangan jenjang jabatan akademik dan
dosen tidak-tetap ditetapkan oleh setiap satuan pendidikan
tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 49
(1) Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan
pendidikan
tinggi
yang
mempunyai
kewenangan
membimbing calon doktor.
(2) Profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan
karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk
mencerahkan masyarakat.
(3) Profesor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumental
lainnya yang sangat istimewa dalam bidangnya dan
mendapat pengakuan internasional dapat diangkat menjadi
profesor paripurna.
(4) Pengaturan lebih lanjut mengenai profesor paripurna
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh setiap
perguruan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 50
(1) Setiap orang yang memiliki kualifikasi akademik dan
kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi dosen.
(2) Setiap orang, yang akan diangkat menjadi dosen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengikuti
proses seleksi.
(3) Setiap orang dapat diangkat secara langsung menduduki
jenjang jabatan akademik tertentu berdasarkan hasil
penilaian terhadap kualifikasi akademik, kompetensi, dan
pengalaman yang dimiliki.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan pengangkatan serta penetapan
jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan
tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban
Pasal 51
(1) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berhak:
a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup
minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;
b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan
tugas dan prestasi kerja;
c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas
dan hak atas kekayaan intelektual;
d. memperoleh
kesempatan
untuk
meningkatkan
kompetensi, akses sumber belajar, informasi, sarana dan
prasarana pembelajaran, serta penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat;
e. memiliki kebebasan akademik, mimbar akademik, dan
otonomi keilmuan;
f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan
menentukan kelulusan peserta didik; dan
g. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi
profesi/organisasi profesi keilmuan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dosen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 52
(1) Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a
meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta
penghasilan lain yang berupa tunjangan profesi, tunjangan
fungsional, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta
maslahat tambahan yang terkait dengan tugas sebagai dosen
yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar
prestasi.
(2) Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang
diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah
diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang
diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan
perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
Pasal 53
(1) Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang telah
memiliki
sertifikat
pendidik
yang
diangkat
oleh
penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan
tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat.
(2) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok dosen yang
diangkat oleh Pemerintah pada tingkat, masa kerja, dan
kualifikasi yang sama.
(3) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja
negara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan profesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 54
(1) Pemerintah memberikan tunjangan fungsional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang
diangkat oleh Pemerintah.
(2) Pemerintah memberikan subsidi tunjangan fungsional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada
dosen yang diangkat oleh satuan pendidikan tinggi yang
diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(3) Tunjangan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja
negara.
Pasal 55
(1) Pemerintah memberikan tunjangan khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) kepada dosen yang
bertugas di daerah khusus.
(2) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok dosen yang
diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada
tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
(3) Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja
negara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 56
(1) Pemerintah memberikan tunjangan kehormatan kepada
profesor yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau
satuan pendidikan tinggi setara 2 (dua) kali gaji pokok
profesor yang diangkat oleh Pemerintah pada tingkat, masa
kerja, dan kualifikasi yang sama.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan kehormatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 57
(1) Maslahat tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
ayat (1) merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh
dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan,
beasiswa, dan penghargaan bagi dosen, serta kemudahan
untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri dosen,
pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin
terwujudnya maslahat tambahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai maslahat tambahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 58
Dosen yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan
pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat berhak
memperoleh jaminan sosial tenaga kerja sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 59
(1) Dosen yang mendalami dan mengembangkan bidang ilmu
langka berhak memperoleh dana dan fasilitas khusus dari
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(2) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah di daerah khusus,
berhak atas rumah dinas yang disediakan oleh Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan.
Pasal 60
Dalam
melaksanakan
tugas
keprofesionalan,
dosen
berkewajiban:
a. melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat;
b. merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta
menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
c. meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik
dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
d. bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar
pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik
tertentu, atau latar belakang sosioekonomi peserta didik
dalam pembelajaran;
e. menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum,
dan kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
f.
memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Bagian Ketiga
Wajib Kerja dan Ikatan Dinas
Pasal 61
(1) Dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat memberlakukan
ketentuan wajib kerja kepada dosen dan/atau warga negara
Indonesia lain yang memenuhi kualifikasi akademik dan
kompetensi untuk melaksanakan tugas sebagai dosen di
daerah khusus.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan warga negara
Indonesia sebagai dosen dalam keadaan darurat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 62
(1) Pemerintah dapat menetapkan pola ikatan dinas bagi calon
dosen untuk memenuhi kepentingan pembangunan
pendidikan nasional, atau untuk memenuhi kepentingan
pembangunan daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pola ikatan dinas bagi
calon dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan, dan
Pemberhentian
Pasal 63
(1) Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan
pendidikan tinggi dilakukan secara objektif dan transparan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan
pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Pengangkatan dan penempatan dosen pada satuan
pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat
dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau satuan
pendidikan tinggi yang bersangkutan berdasarkan perjanjian
kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi
satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh
masyarakat untuk menjamin terselenggaranya pendidikan
yang bermutu.
Pasal 64
(1) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah dapat ditempatkan
pada jabatan struktural sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dosen yang
diangkat oleh Pemerintah pada jabatan struktural
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 65
Tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai dosen pada satuan
pendidikan tinggi di Indonesia wajib mematuhi peraturan
perundang-undangan.
Pasal 66
Pemindahan dosen pada satuan pendidikan tinggi yang
diselenggarakan oleh masyarakat diatur oleh penyelenggara
pendidikan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja
bersama.
Pasal 67
(1) Dosen dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatan
sebagai dosen karena:
a. meninggal dunia;
b. mencapai batas usia pensiun;
c. atas permintaan sendiri;
d. tidak dapat melaksanakan tugas secara terus-menerus
selama 12 (dua belas) bulan karena sakit jasmani
dan/atau rohani; atau
e. berakhirnya perjanjian kerja atau kesepakatan kerja
bersama antara dosen dan penyelenggara pendidikan.
(2) Dosen dapat diberhentikan tidak dengan hormat dari
jabatan sebagai dosen karena:
a. melanggar sumpah dan janji jabatan;
b. melanggar perjanjian kerja atau kesepakatan kerja
bersama; atau
c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas selama 1
(satu) bulan atau lebih secara terus-menerus.
(3) Pemberhentian dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilakukan oleh penyelenggara pendidikan atau
satuan pendidikan tinggi yang bersangkutan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
(4) Pemberhentian dosen karena batas usia pensiun
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan
pada usia 65 (enam puluh lima) tahun.
(5) Profesor yang berprestasi dapat diperpanjang batas usia
pensiunnya sampai 70 (tujuh puluh) tahun.
(6) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah yang diberhentikan
dari jabatan sebagai dosen, kecuali sebagaimana dimaksud
ayat (1) huruf a dan huruf b, tidak dengan sendirinya
diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil.
Pasal 68
(1) Pemberhentian dosen sebagaimana dimaksud dalam Pasal
67 ayat (2) dapat dilakukan setelah dosen yang
bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri.
(2) Dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan
oleh masyarakat yang diberhentikan dengan hormat tidak
atas permintaan sendiri memperoleh kompensasi finansial
sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja
bersama.
Bagian Kelima
Pembinaan dan Pengembangan
Pasal 69
(1) Pembinaan dan pengembangan dosen meliputi pembinaan
dan pengembangan profesi dan karier.
(2) Pembinaan dan pengembangan profesi dosen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional.
(3) Pembinaan dan pengembangan profesi dosen dilakukan
melalui jabatan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(4) Pembinaan dan pengembangan karier dosen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi penugasan, kenaikan
pangkat, dan promosi.
Pasal 70
Kebijakan strategis pembinaan dan pengembangan profesi dan
karier dosen pada satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan
oleh Pemerintah atau masyarakat ditetapkan dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 71
(1) Pemerintah wajib membina dan mengembangkan kualifikasi
akademik dan kompetensi dosen pada satuan pendidikan
tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau
masyarakat.
(2) Satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh
masyarakat wajib membina dan mengembangkan kualifikasi
akademik dan kompetensi dosen.
(3) Pemerintah
wajib
memberikan
anggaran
untuk
meningkatkan profesionalitas dan pengabdian dosen pada
satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau masyarakat.
Pasal 72
(1) Beban kerja dosen mencakup kegiatan pokok yaitu
merencanakan
pembelajaran,
melaksanakan
proses
pembelajaran,
melakukan
evaluasi
pembelajaran,
membimbing dan melatih, melakukan penelitian, melakukan
tugas tambahan, serta melakukan pengabdian kepada
masyarakat.
(2) Beban kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-
kurangnya sepadan dengan 12 (dua belas) satuan kredit
semester dan sebanyak-banyaknya 16 (enam belas) satuan
kredit semester.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai beban kerja dosen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh
setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Keenam
Penghargaan
Pasal 73
(1) Dosen yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau
bertugas
di
daerah
khusus
berhak
memperoleh
penghargaan.
(2) Dosen yang gugur dalam melaksanakan tugas di daerah
khusus memperoleh penghargaan dari Pemerintah,
pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 74
(1) Penghargaan dapat diberikan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, masyarakat, organisasi profesi keilmuan, dan/atau
satuan pendidikan tinggi.
(2) Penghargaan dapat diberikan pada tingkat satuan
pendidikan tinggi, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi,
tingkat nasional, dan/atau tingkat internasional.
(3) Penghargaan dapat diberikan dalam bentuk tanda jasa,
kenaikan pangkat istimewa, finansial, piagam, dan/atau
bentuk penghargaan lain.
(4) Penghargaan . . .
Page 31
-
31
-
(4) Penghargaan kepada dosen dilaksanakan dalam rangka
memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik
Indonesia, hari ulang tahun provinsi, hari ulang tahun
kabupaten/kota, hari ulang tahun satuan pendidikan tinggi,
hari pendidikan nasional, dan/atau hari besar lain.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketujuh
Perlindungan
Pasal 75
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi
profesi, dan/atau satuan pendidikan tinggi wajib
memberikan
perlindungan
terhadap
dosen
dalam
pelaksanaan tugas.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
perlindungan
hukum,
perlindungan
profesi,
serta
perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mencakup perlindungan terhadap tindak kekerasan,
ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau
perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua
peserta didik, masyarakat, birokrasi, dan/atau pihak lain.
(4) Perlindungan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mencakup perlindungan terhadap pelaksanaan tugas dosen
sebagai tenaga profesional yang meliputi pemutusan
hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar,
pembatasan kebebasan akademik, mimbar akademik, dan
otonomi keilmuan, serta pembatasan/pelarangan lain yang
dapat menghambat dosen dalam pelaksanaan tugas.
(5) Perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) meliputi perlindungan terhadap
risiko gangguan keamanan kerja, kecelakaan kerja,
kebakaran pada waktu kerja, bencana alam, kesehatan
lingkungan kerja, dan/atau risiko lain.
(6) Dalam . . .
Page 32
-
32
-
(6) Dalam rangka kegiatan akademik, dosen mendapat
perlindungan untuk menggunakan data dan sumber yang
dikategorikan terlarang oleh peraturan perundang-
undangan.
Bagian Kedelapan
Cuti
Pasal 76
(1) Dosen memperoleh cuti sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Dosen memperoleh cuti untuk studi dan penelitian atau
untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni dengan memperoleh hak gaji penuh.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai cuti sebagaimana
dimaksud pada pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VI
SANKSI
Pasal 77
(1) Guru yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah
daerah yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. penundaan pemberian hak guru;
d. penurunan pangkat;
e. pemberhentian dengan hormat; atau
f.
pemberhentian tidak dengan hormat.
(3) Guru yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 yang tidak melaksanakan tugas sesuai
dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama
diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan dinas.
(4) Guru . . .
Page 33
-
33
-
(4) Guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat,
yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian
kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(5) Guru yang melakukan pelanggaran kode etik dikenai sanksi
oleh organisasi profesi.
(6) Guru yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) mempunyai hak
membela diri.
Pasal 78
(1) Dosen yang diangkat oleh Pemerintah yang tidak
menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal
60 dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. penundaan pemberian hak dosen;
d. penurunan pangkat dan jabatan akademik;
e. pemberhentian dengan hormat; atau
f.
pemberhentian tidak dengan hormat.
(3) Dosen yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau
satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh
masyarakat yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 dikenai sanksi sesuai dengan
perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama.
(4) Dosen yang berstatus ikatan dinas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 62 yang tidak melaksanakan tugas sesuai
dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama
diberi sanksi sesuai dengan perjanjian ikatan dinas.
(5) Dosen yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mempunyai hak
membela diri.
Pasal 79 . . .
Pasal 79
Page 34
-
34
-
(1) Penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 34, Pasal 39, Pasal 63 ayat
(4), Pasal 71, dan Pasal 75 diberi sanksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(2) Sanksi bagi penyelenggara pendidikan berupa:
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. pembatasan
kegiatan
penyelenggaraan
satuan
pendidikan; atau
d. pembekuan
kegiatan
penyelenggaraan
satuan
pendidikan.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 80
(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini:
a. guru yang belum memiliki sertifikat pendidik
memperoleh
tunjangan
fungsional
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) dan
memperoleh
maslahat
tambahan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) paling lama 10
(sepuluh) tahun, atau guru yang bersangkutan telah
memenuhi kewajiban memiliki sertifikat pendidik.
b. dosen yang belum memiliki sertifikat pendidik
memperoleh
tunjangan
fungsional
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) dan
memperoleh
maslahat
tambahan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) paling lama 10
(sepuluh) tahun, atau dosen yang bersangkutan telah
memenuhi kewajiban memiliki sertifikat pendidik.
(2) Tunjangan . . .
Page 35
-
35
-
(2) Tunjangan fungsional dan maslahat tambahan bagi guru
dan dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja
negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pasal 81
Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
guru dan dosen tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau
belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-
Undang ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 82
(1) Pemerintah mulai melaksanakan program sertifikasi
pendidik paling lama dalam waktu 12 (dua belas) bulan
terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini.
(2) Guru yang belum memiliki kualifikasi akademik dan
sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada Undang-
Undang ini wajib memenuhi kualifikasi akademik dan
sertifikat pendidik paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak
berlakunya Undang-Undang ini.
Pasal 83
Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk
melaksanakan Undang-Undang ini harus diselesaikan selambat-
lambatnya 18 (delapan belas) bulan sejak berlakunya Undang-
Undang ini.
Pasal 84
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
Page 36
-
36
-
Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2005
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2005
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
AD INTERIM,
ttd
YUSRIL IHZA MAHENDRA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 157
Salinan sesuai dengan aslinya
DEPUTI MENTERI SEKRETARIS NEGARA
BIDANG PERUNDANG-UNDANGAN,
ABDUL WAHID
Page 37
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2005
TENTANG
GURU DAN DOSEN
I. UMUM
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan bahwa tujuan nasional adalah untuk melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan
nasional tersebut, pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan.
Selanjutnya, Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengamanatkan bahwa (1) setiap warga negara berhak
mendapat pendidikan; (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan
dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (3)
Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-
undang; (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya 20% (dua puluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja
negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; dan (5)
Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Salah satu amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang memiliki
visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan
berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia
Page 38
-
2
-
berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan
proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Kualitas manusia yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia pada masa
yang akan datang adalah yang mampu menghadapi persaingan yang
semakin ketat dengan bangsa lain di dunia. Kualitas manusia Indonesia
tersebut dihasilkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
Oleh karena itu, guru dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan
kedudukan yang sangat strategis. Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan
bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Kedudukan guru dan
dosen sebagai tenaga profesional mempunyai visi terwujudnya
penyelenggaraan
pembelajaran
sesuai
dengan
prinsip-prinsip
profesionalitas untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara
dalam memperoleh pendidikan yang bermutu.
Berdasarkan uraian di atas, pengakuan kedudukan guru dan dosen
sebagai tenaga profesional mempunyai misi untuk melaksanakan tujuan
Undang-Undang ini sebagai berikut:
1. mengangkat martabat guru dan dosen;
2. menjamin hak dan kewajiban guru dan dosen;
3. meningkatkan kompetensi guru dan dosen;
4. memajukan profesi serta karier guru dan dosen;
5. meningkatkan mutu pembelajaran;
6. meningkatkan mutu pendidikan nasional;
7. mengurangi kesenjangan ketersediaan guru dan dosen antardaerah
dari segi jumlah, mutu, kualifikasi akademik, dan kompetensi;
8. mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antardaerah; dan
9. meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu.
Berdasarkan visi dan misi tersebut, kedudukan guru sebagai tenaga
profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat guru serta perannya
sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan
nasional, sedangkan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional
berfungsi untuk meningkatkan martabat dosen serta mengembangkan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional.
kedudukan . . .
Page 39
-
3
-
Sejalan dengan fungsi tersebut, kedudukan guru dan dosen sebagai
tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan
nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab.
Untuk meningkatkan penghargaan terhadap tugas guru dan dosen,
kedudukan guru dan dosen pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah,
dan pendidikan tinggi perlu dikukuhkan dengan pemberian sertifikat
pendidik. Sertifikat tersebut merupakan pengakuan atas kedudukan guru
dan dosen sebagai tenaga profesional. Dalam melaksanakan tugasnya,
guru dan dosen harus memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup
minimum sehingga memiliki kesempatan untuk meningkatkan
kemampuan profesionalnya.
Selain itu, perlu juga diperhatikan upaya-upaya memaksimalkan fungsi
dan peran strategis guru dan dosen yang meliputi penegakan hak dan
kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga profesional, pembinaan dan
pengembangan profesi guru dan dosen, perlindungan hukum,
perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan
kerja.
Berdasarkan visi, misi, dan pertimbangan-pertimbangan di atas
diperlukan strategi yang meliputi:
1. penyelenggaraan sertifikasi pendidik berdasarkan kualifikasi
akademik dan kompetensi;
2. pemenuhan hak dan kewajiban guru dan dosen sebagai tenaga
profesional yang sesuai dengan prinsip profesionalitas;
3. penyelenggaraan
kebijakan
strategis
dalam
pengangkatan,
penempatan, pemindahan, dan pemberhentian guru dan dosen sesuai
dengan kebutuhan, baik jumlah, kualifikasi akademik, maupun
kompetensi yang dilakukan secara merata, objektif, dan transparan
untuk menjamin keberlangsungan pendidikan;
Selain . . .
Page 40
-
4
-
4. penyelenggaraan kebijakan strategis dalam pembinaan dan
pengembangan profesi guru dan dosen untuk meningkatkan
profesionalitas dan pengabdian para guru dan dosen;
5. peningkatan pemberian penghargaan dan jaminan perlindungan
terhadap guru dan dosen dalam pelaksanaan tugas profesional;
6. peningkatan peran organisasi profesi untuk menjaga dan
meningkatkan kehormatan dan martabat guru dan dosen dalam
pelaksanaan tugas sebagai tenaga profesional;
7. penguatan kesetaraan antara guru dan dosen yang bertugas pada
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah dengan guru dan dosen yang bertugas pada
satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat;
8. penguatan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah dan
pemerintah daerah dalam merealisasikan pencapaian anggaran
pendidikan untuk memenuhi hak dan kewajiban guru dan dosen
sebagai tenaga profesional; dan
9. peningkatan peran serta masyarakat dalam memenuhi hak dan
kewajiban guru dan dosen.
Pengakuan kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional
merupakan bagian dari pembaharuan sistem pendidikan nasional yang
pelaksanaannya
memperhatikan
berbagai
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
di
bidang
pendidikan,
kepegawaian,
ketenagakerjaan, keuangan, dan pemerintahan daerah.
Sehubungan dengan hal itu, diperlukan pengaturan tentang kedudukan
guru dan dosen sebagai tenaga profesional dalam suatu Undang-Undang
tentang Guru dan Dosen.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
II. PASAL DEMI PASAL . . .
Page 41
-
5
-
Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa
pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang
mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat
pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan
jenjang pendidikan tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Yang dimaksud dengan guru sebagai agen pembelajaran (learning
agent) adalah peran guru antara lain sebagai fasilitator, motivator,
pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi
peserta didik.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan sehat jasmani dan rohani adalah kondisi
kesehatan fisik dan mental yang memungkinkan guru dapat
melaksanakan tugas dengan baik. Kondisi kesehatan fisik dan mental
tersebut tidak ditujukan kepada penyandang cacat.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10 . . .
Page 42
-
6
-
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah
kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik.
Yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian adalah
kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif,
dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik.
Yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah
kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan
mendalam.
Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan
guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan
efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta
didik, dan masyarakat sekitar.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
huruf a
Yang dimaksud dengan penghasilan di atas kebutuhan
hidup minimum adalah pendapatan yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup guru dan keluarganya secara
wajar, baik sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan,
rekreasi, maupun jaminan hari tua.
huruf b
Cukup jelas.
Page 43
-
7
-
huruf c
Cukup jelas
huruf d
Cukup jelas.
huruf e
Cukup jelas.
huruf f
Cukup jelas.
huruf g . . .
huruf g
Cukup jelas.
huruf h
Cukup jelas.
huruf i
Cukup jelas.
huruf j
Cukup jelas.
huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan gaji pokok adalah satuan penghasilan
yang ditetapkan berdasarkan pangkat, golongan, dan masa
kerja.
Yang dimaksud dengan tunjangan yang melekat pada gaji adalah
tambahan penghasilan sebagai komponen kesejahteraan yang
ditentukan berdasarkan jumlah tanggungan keluarga.
Yang dimaksud dengan tunjangan profesi adalah tunjangan yang
diberikan kepada guru yang memiliki sertifikat pendidik sebagai
penghargaan atas profesionalitasnya.
Page 44
-
8
-
Yang dimaksud dengan tunjangan khusus adalah tunjangan
yang diberikan kepada guru sebagai kompensasi atas kesulitan
hidup yang dihadapi dalam melaksanakan tugas di daerah
khusus.
Yang dimaksud dengan maslahat tambahan adalah tambahan
kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk asuransi, pelayanan
kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) . . .
Ayat (3)
Tunjangan profesi dapat diperhitungkan sebagai bagian dari
anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan anggaran
pendidikan kedinasan untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal
49 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Tunjangan fungsional dapat diperhitungkan sebagai bagian dari
anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan anggaran
Page 45
-
9
-
pendidikan kedinasan untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal
49 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pasal 18
Ayat (1)
Tunjangan khusus dapat diperhitungkan sebagai bagian dari
anggaran pendidikan selain gaji pendidik dan anggaran
pendidikan kedinasan untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal
49 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kemudahan untuk memperoleh
pendidikan bagi putra-putri guru adalah berupa kesempatan dan
keringanan biaya pendidikan bagi putra-putri guru yang telah
memenuhi syarat-syarat akademik untuk menempuh pendidikan
dalam satuan pendidikan tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) . . .
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Page 46
-
10
-
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Page 47
-
11
-
Pasal 34 . . .
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Yang dimaksud dengan sehat jasmani dan rohani adalah kondisi
kesehatan fisik dan mental yang memungkinkan dosen dapat
Page 48
-
12
-
melaksanakan tugas dengan baik. Kondisi kesehatan fisik dan mental
tersebut tidak ditujukan kepada penyandang cacat.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48 . . .
Pasal 48
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dosen tetap adalah dosen yang bekerja
penuh waktu yang berstatus sebagai tenaga pendidik tetap pada
satuan pendidikan tinggi tertentu.
Yang dimaksud dengan dosen tidak tetap adalah dosen yang
bekerja paruh waktu yang berstatus sebagai tenaga pendidik
tidak tetap pada satuan pendidikan tinggi tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan secara langsung adalah tanpa berjenjang.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Page 49
-
13
-
Pasal 51
Ayat (1)
huruf a
Yang dimaksud dengan penghasilan di atas kebutuhan
hidup minimum adalah pendapatan yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup dosen dan keluarganya secara
wajar, baik sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan,
rekreasi, maupun jaminan hari tua.
huruf b
Cukup jelas.
huruf c
Cukup jelas.
huruf d
Cukup jelas.
huruf e
Cukup jelas.
huruf f . . .
huruf f
Cukup jelas.
huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan gaji pokok adalah satuan penghasilan
yang ditetapkan berdasarkan pangkat, golongan, dan masa
kerja.
Yang dimaksud dengan tunjangan yang melekat pada gaji adalah
tambahan penghasilan sebagai komponen kesejahteraan yang
ditentukan berdasarkan jumlah tanggungan keluarga.
Page 50
-
14
-
Yang dimaksud dengan tunjangan profesi adalah tunjangan yang
diberikan kepada dosen yang memiliki sertifikat pendidik sebagai
penghargaan atas profesionalitasnya.
Yang dimaksud dengan tunjangan khusus adalah tunjangan
yang diberikan kepada dosen sebagai kompensasi atas kesulitan
hidup yang dihadapi dalam melaksanakan tugas di daerah
khusus.
Yang dimaksud dengan maslahat tambahan adalah tambahan
kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk asuransi, pelayanan
kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 52 ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) . . .
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Page 51
-
15
-
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan bidang ilmu yang langka adalah ilmu
yang sangat khas, memiliki tingkat kesulitan tinggi, dan/atau
mempunyai nilai-nilai strategis serta tidak banyak diminati.
Yang dimaksud dengan dana dan fasilitas khusus adalah alokasi
anggaran dan kemudahan yang diperuntukkan bagi dosen yang
mendalami ilmu langka tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Page 52
-
16
-
Pasal 66 . . .
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Page 53
-
17
-
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81 . . .
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4586
Page 54
-
i
-

Read More......

Perkembangan Pembelajaran Lewat Internet

Dengan semakin pesatnya perkembangan Teknologi Informasi (TI) maka ada beberapa konsekuensi bagi kita para guru untuk agar juga selalu mengikuti perkembangan tersebut. Selain kita menjadi tahu dengan teknologi kita juga jadi tidak “gaptek”. Apalagi akses internet sekarang ini relatif cepat dan stabil tidak seperti jaman dulu. Untuk akses internet yang saya gunakan adalah jasa dari Telkom Speedy yang cukup murah, sangat murah lagi untuk saya. bahkan gratis. Gimana nggak gratis,….. saya kan setiap hari akses di Madrasah he he. Lumayan cepat, bahkan sangat cepat (dari pengalaman saya). Waktu saya test ke http://www.sijiwae.net/speddtest atau http://www.telkomsemarang.com, kecepatan bandwithnya ok. Rata-rata ada di kisaran 700 - 900 kbps. Memang saya juga menggunakan telepon rumah untuk akses, pake telkomnet instan. Nggak cepat sih, cuma 50 - 60 kbps tetapi lumayan juga. Dulu rencananya mau pasang speedy, tapi setelah tak pikir-pikir ngapain masang wong di Madrsah saja bisa menggunakan sesuka hati. He he he lagi. Sebenarnya pada dasarnya bukan pada masalah gratis tidaknya, tetapi pada kemauan dan kemampuan kita dalam menggunakannya. Banyak lho orang yang tidak mau menggunakan fasilitas yang sudah disediakan dengan susah payah oleh suatu pihak.

Beralih ke awal masalah yang saya sampaikan, kita sebagai guru dituntut untuk mengikuti perkembangan teknologi. Nah, bagi guru-guru geografi di mana saja ada banyak informasi yang bisa kita dapatkan dari internet. Mulai dari materi-materi pelajaran, soal-soal latihan, soal-soal ulangan, perangkat mengajar untuk guru sampai informasi-informasi kebumian yang besifat up to date. Ada banyak situs yang dapat menjadi acuan kita dalam kegiatan pembelajaran, tidak melulu terkekang oleh buku paket.

Misal :

http://www.e-dukasi.net

http://www.jardiknas.org

Dan masih banyak lagi situs pendidikan yang lain yang bisa kita ambil manfaat positifnya. Jadi nggak ada salahnya kita menggunakan internet, justru kita dapat mengembangkan diri dan profesionalisme kita menjadi lebih meningkat dan bermigrasi ke arah yang lebih baik.

Read More......

PEMBELAJARAN DENGAN MODEL SIKLUS BELAJAR (LEARNING CYCLE)


Fauziatul Fajaroh dan I Wayan Dasna
Jurusan Kimia FMIPA UM

Apa Siklus Belajar (Learning Cycle) itu?
Siklus Belajar (Learning Cycle) atau dalam penulisan ini disingkat LC adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada pebelajar (student centered). LC merupakan rangkaian tahap-tahap kegiatan (fase) yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga pebelajar dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperanan aktif. LC pada mulanya terdiri dari fase-fase eksplorasi
(exploration), pengenalan konsep (concept introduction), dan aplikasi konsep (concept application) (Karplus dan Their dalam Renner et al, 1988). Pada tahap eksplorasi, pebelajar diberi kesempatan untuk memanfaatkan panca inderanya semaksimal mungkin dalam berinteraksi dengan lingkungan melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum, menganalisis artikel, mendiskusikan fenomena alam, mengamati fenomena alam atau perilaku sosial, dan lain-lain. Dari kegiatan ini diharapkan timbul ketidakseimbangan dalam struktur mentalnya (cognitive disequilibrium) yang ditandai dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada berkembangnya daya nalar tingkat tinggi (high level reasoning) yang diawali dengan kata-kata seperti mengapa dan bagaimana (Dasna, 2005, Rahayu, 2005). Munculnya pertanyaan-pertanyaan tersebut sekaligus merupakan indikator kesiapan siswa untuk menempuh fase berikutnya, fase pengenalan konsep. Pada fase ini diharapkan terjadi proses menuju kesetimbangan antara konsep-konsep yang telah dimiliki pebelajar dengan konsep-konsep yang baru dipelajari melalui kegiatan-kegiatan yang membutuhkan daya nalar seperti menelaah sumber pustaka dan berdiskusi. Pada tahap ini pebelajar mengenal istilah-istilah yang berkaitan dengan konsep-konsep baru yang sedang dipelajari. Pada fase terakhir, yakni aplikasi konsep, pebelajar diajak menerapkan pemahaman konsepnya melalui kegiatan-kegiatan seperti problem solving (menyelesaikan problem-problem nyata yang berkaitan) atau melakukan percobaan lebih lanjut.. Penerapan konsep dapat meningkatkan pemahaman konsep dan motivasi belajar, karena pebelajar mengetahui penerapan nyata dari konsep yang mereka pelajari. Implementasi LC dalam pembelajaran menempatkan guru sebagai fasilitator yang mengelola berlangsungnya fase-fase tersebut mulai dari perencanaan (terutama pengembangan perangkat pembelajaran), pelaksanaan (terutama pemberian pertanyaan-pertanyaan arahan dan proses pembimbingan) sampai evaluasi. Efektifitas implementasi LC biasanya diukur melalui observasi proses dan pemberian tes. Jika ternyata hasil dan kualitas pembelajaran tersebut ternyata belum memuaskan, maka dapat dilakukan siklus berikutnya yang pelaksanaannya harus lebih baik dibanding siklus sebelumnya dengan cara mengantisipasi kelemahan-kelemahan siklus sebelumnya, sampai hasilnya memuaskan.
LC tiga fase saat ini telah dikembangkan dan disempurnakan menjadi 5 dan 6 fase. Pada LC 5 fase, ditambahkan tahap engagement sebelum exploration dan ditambahkan pula tahap evaluation pada bagian akhir siklus. Pada model ini, tahap concept introduction dan concept application masing-masing diistilahkan menjadi explaination dan elaboration. Karena itu LC 5 fase sering dijuluki LC 5E (Engagement, Exploration, Explaination, Elaboration, dan Evaluation) (Lorsbach, 2002). Pada LC 6 fase, ditambahkan tahap identifikasi tujuan pembelajaran pada awal kegiatan (Johnston dalam Iskandar, 2005). Tahap engagement bertujuan mempersiapkan diri pebelajar agar terkondisi dalam menempuh fase berikutnya dengan jalan mengeksplorasi pengetahuan awal dan ide-ide mereka serta untuk mengetahui kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada pembelajaran sebelumnya. Dalam fase engagement ini minat dan keingintahuan (curiosity) pebelajar tentang topik yang akan diajarkan berusaha dibangkitkan. Pada fase ini pula pebelajar diajak membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dan dibuktikan dalam tahap eksplorasi. Pada fase exploration, siswa diberi kesempatan untuk bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil tanpa pengajaran langsung dari guru untuk menguji prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide-ide melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum dan telaah literatur. Pada fase explanation, guru harus mendorong siswa untuk menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, meminta bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka, dan mengarahkan kegiatan diskusi. Pada tahap ini pebelajar menemukan istilah-istilah dari konsep yang dipelajari. Pada fase elaboration (extention), siswa menerapkan konsep dan ketrampilan dalam situasi baru melalui kegiatan-kegiatan seperti praktikum lanjutan dan problem solving. Pada tahap akhir, evaluation, dilakukan evaluasi terhadap efektifitas fase-fase sebelumnya dan juga evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep, atau kompetensi pebelajar melalui problem solving dalam konteks baru yang kadang-kadang mendorong pebelajar melakukan investigasi lebih lanjut. Berdasarkan tahapan-tahapan dalam metode pembelajaran bersiklus seperti dipaparkan di atas, diharapkan siswa tidak hanya mendengar keterangan guru tetapi dapat berperan aktif untuk menggali dan memperkaya pemahaman mereka terhadap konsep-konsep yang dipelajari. Berdasarkan uraian di atas, LC dapat dimplementasikan dalam pembelajaran bidang-bidang sain maupun sosial.

Mengapa Menggunakan Learning Cycle?
LC patut dikedepankan, karena sesuai dengan teori belajar Piaget (Renner et al, 1988), teori belajar yang berbasis konstruktivisme. Piaget menyatakan bahwa belajar merupakan pengembangan aspek kognitif yang meliputi: struktur, isi, dan fungsi. Struktur intelektual adalah organisasi-organisasi mental tingkat tinggi yang dimiliki individu untuk memecahkan masalah-masalah. Isi adalah perilaku khas individu dalam merespon masalah yang dihadapi. Sedangkan fungsi merupakan proses perkembangan intelektual yang mencakup adaptasi dan organisasi (Arifin, 1995). Adaptasi terdiri atas asimilasi dan akomodasi. Pada proses asimilasi individu menggunakan struktur kognitif yang sudah ada untuk memberikan respon terhadap rangsangan yang diterimanya. Dalam asimilasi individu berinteraksi dengan data yang ada di lingkungan untuk diproses dalam struktur mentalnya. Dalam proses ini struktur mental individu dapat berubah, sehingga terjadi akomodasi. Pada kondisi ini individu melakukan modifikasi dari struktur yang ada, sehingga terjadi pengembangan struktur mental. Pemerolehan konsep baru akan berdampak pada konsep yang telah dimiliki individu. Individu harus dapat menghubungkan konsep yang baru dipelajari dengan konsep-konsep lain dalam suatu hubungan antar konsep. Konsep yang baru harus diorganisasikan dengan konsep-konsep lain yang telah dimiliki. Organisasi yang baik dari intelektual seseorang akan tercermin dari respon yang diberikan dalam menghadapi masalah. Karplus dan Their (dalam Renner et al, 1988) mengembangkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan ide Piaget di atas. Dalam hal ini pebelajar diberi kesempatan untuk mengasimilasi informasi dengan cara mengeksplorasi lingkungan, mengakomodasi informasi dengan cara mengembangkan konsep, mengorganisasikan informasi dan menghubungkan konsep-konsep baru dengan menggunakan atau memperluas konsep yang dimiliki untuk menjelaskan suatu fenomena yang berbeda. Implementasi teori Piaget oleh Karplus dikembangkan menjadi fase eksplorasi, pengenalan konsep, dan aplikasi konsep . Unsur-unsur teori belajar Piaget (asimilasi, akomodasi, dan organisasi) mempunyai korespondensi dengan fase-fase dalam LC (Abraham et al, 1986). Hubungan tersebut disajikan seperi Gambar 1 (Marek dan Cavallo dalam Dasna, 2005).
Laerning Cycle Phases Mental Functioning
Eksplorasi
Asimilasi

ketidakseimbangan

Pengenalan Konsep
Akomodasi

Aplikasi Konsep
Organisasi

Gambar 1 Hubungan Fase-fase dalam LC dengan Teori Piaget

Pengembangan fase-fase LC dari 3 fase menjadi 5 atau 6 fase pun masih tetap berkorespondensi dengan mental functioning dari Piaget. Fase engagement dalam LC 5E termasuk dalam proses asimilasi, sedangkan fase evaluation masih merupakan proses organisasi.
Walaupun fase-fase LC dapat dijelaskan dengan teori Piaget, LC juga pada dasarnya lahir dari paradigma konstruktivisme belajar yang lain termasuk teori konstruktivisme sosial Vygotsky dan teori belajar bermakna Ausubel (Dasna, 2005). LC melalui kegiatan dalam tiap fase mewadahi pebelajar untuk secara aktif membangun konsep-konsepnya sendiri dengan cara berinteraksi dengan lingkungan fisik maupun sosial. Implementasi LC dalam pembelajaran sesuai dengan pandangan kontruktivis yaitu:
1. Siswa belajar secara aktif. Siswa mempelajari materi secara bermakna dengan bekerja dan berpikir. Pengetahuan dikonstruksi dari pengalaman siswa.
2. Informasi baru dikaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa. Informasi baru yang dimiliki siswa berasal dari interpretasi individu
3. Orientasi pembelajaran adalah investigasi dan penemuan yang merupakan pemecahan masalah. (Hudojo, 2001)
Dengan demikian proses pembelajaran bukan lagi sekedar transfer pengetahuan dari guru ke siswa, seperti dalam falsafah behaviorisme, tetapi merupakan proses pemerolehan konsep yang berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif dan langsung. Proses pembelajaran demikian akan lebih bermakna dan menjadikan skema dalam diri pebelajar menjadi pengetahuan fungsional yang setiap saat dapat diorganisasi oleh pebelajar untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Hasil-hasil penelitian di perguruan tinggi dan sekolah menengah tentang implementasi LC dalam pembelajaran sain menunjukkan keberhasilan model ini dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa (Budiasih dan Widarti, 2004; Fajaroh dan Dasna, 2004). Marek dan Methven (dalam Iskandar, 2005) menyatakan bahwa siswa yang gurunya mengimplementasikan LC mempunyai ketrampilan menjelaskan yang lebih baik dari pada siswa yang gurunya menerapkan metode ekspositori. Cohen dan Clough (dalam Soebagio, 2000) menyatakan bahwa LC merupakan strategi jitu bagi pembelajaran sain di sekolah menengah karena dapat dilakukan secara luwes dan memenuhi kebutuhan nyata guru dan siswa. Dilihat dari dimensi guru penerapan strategi ini memperluas wawasan dan meningkatkan kreatifitas guru dalam merancang kegiatan pembelajaran. Sedangkan ditinjau dari dimensi pebelajar, penerapan strategi ini memberi keuntungan sebagai berikut:
1. meningkatkan motivasi belajar karena pebelajar dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran
2. membantu mengembangkan sikap ilmiah pebelajar
3. pembelajaran menjadi lebih bermakna
Adapun kekurangan penerapan strategi ini yang harus selalu diantisipasi diperkirakan sebagai berikut (Soebagio, 2000):
1. efektifitas pembelajaran rendah jika guru kurang menguasai materi dan langkah-langkah pembelajaran
2. menuntut kesungguhan dan kreativitas guru dalam merancang dan melaksanakan proses pembelajaran
3. memerlukan pengelolaan kelas yang lebih terencana dan terorganisasi
4. memerlukan waktu dan tenaga yang lebih banyak dalam menyusun rencana dan melaksanakan pembelajaran.
Bagaimana Mengembangkan Learning Cycle dalam Pembelajaran?
Aktivitas belajar yang dikembangkan dalam tiap fase LC bergantung kepada tujuan pembelajaran. Tabel 1 menyajikan beberapa aktivitas belajar atau metode yang dapat dilakukan dalam tiap fase LC 5E.

Tabel 1 Aktivitas Belajar dalam Tiap Fase LC 5E

Fase Aktivitas Belajar/ Metode
Engagement: menyiapkan (mengkondisikan) diri pebelajar, mengetahui kemungkinan terjadinya miskonsepsi, membangkitkan minat dan keingintahuan (curiosity) pebelajar • Demonstrasi oleh guru atau siswa
• Tanya jawab dalam rangka mengeksplorasi pengetahuan awal, pengalaman, dan ide-ide pebelajar
• Pebelajar diajak membuat prediksi-prediksi tentang fenomena yang akan dipelajari dan dibuktikan dalam tahap eksplorasi
Exploration: pebelajar bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil, menguji prediksi, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide-ide • Demonstrasi
• Praktikum
• Mengerjakan LKS (Lembar Kegiatan Siswa)
Explaination: siswa menjelaskan konsep dengan kalimat mereka sendiri, guru meminta bukti dan klarifikasi dari penjelasan mereka dan mengarahkan kegiatan diskusi, pebelajar menemukan istilah-istilah dari konsep yang dipelajari. • Mengkaji literatur
• Diskusi Kelas

Elaboration (extention) : siswa menerapkan konsep dan ketrampilan dalam situasi baru. • Demontrasi lanjutan
• Praktikum lanjutan
• Problem solving
Evaluation : evaluasi terhadap efektifitas fase-fase sebelumnya ; evaluasi terhadap pengetahuan, pemahaman konsep, atau kompetensi pebelajar dalam konteks baru yang kadang-kadang mendorong pebelajar melakukan investigasi lebih lanjut. • Refleksi pelaksanaan pembelajaran
• Tes tulis
• Problem solving

Dalam membuat rencana pembelajaran berbasis LC, kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam tiap fase harus ditelaah melalui pertanyaan « Konsep apa yang akan diberikan ? » atau « Kompetensi apakah yang harus dikuasai siswa ? » dan « Aktivitas-aktivitas yang bagaimanakah yang harus dikelola dalam tiap fase agar tercapai pemahaman konsep atau terkuasainya kompetensi tersebut ? ». Kegiatan-kegiatan dalam tiap fase harus dirangkai sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Kompetensi yang bersifat psikomotorik dan afektif misalnya akan lebih efektif bila dikuasai siswa melalui kegiatan semacam praktikum.
Lingkungan belajar yang perlu diupayakan agar LC berlangsung konstruktivistik adalah :
1. Tersedianya pengalaman belajar yang berkaitan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa
2. Tersedianya berbagai alternatif pengalaman belajar jika memungkinkan
3. Terjadinya transmisi sosial, yakni interaksi dan kerja sama individu dengan lingkungannya
4. Tersedianya media pembelajaran
5. Kaitkan konsep yang dipelajari dengan fenomena sedemikian rupa sehingga siswa terlibat secara emosional dan sosial yang menjadikan pembelajaran berlangsung menarik dan menyenangkan. (Hudojo, 2001)
Berikut ini akan disajikan contoh penerapan LC dalam pembelajaran kimia di SMA.

Contoh Penerapan Learning Cycle dalam Pembelajaran
Uraian dalam paragrap ini menyajikan penerapan LC 5E dalam pembelajaran zat aditif di SMA (Fajaroh dan Dasna, 2004) yang terdiri atas 3 siklus.

1. Siklus 1
Skenario

TPK: Siswa dapat menjelaskan tujuan pemanfaatan zat pewarna makanan, klasifikasi serta aturan pemakaian zat pewarna makanan

Fase Kegiatan Guru Kegiatan
1

2

3

4

5 Memancing siswa dengan pertanyaan-pertanyaan untuk membangkitkan motivasi belajar dan menjajagi pengetahuan dan wawasan siswa tentang:
1. kebiasaan yang biasanya dilakukan orang dalam mengolah makanan dalam kaitannya dengan zat pewarna makanan.
2. tujuan penambahan zat pewarna pada pengolahan makanan tersebut
3. kaitan antara penambahan zat pewarna makanan dengan peningkatan nilai gizi makanan.
4. perlu tidaknya aturan pemakaian zat pewarna makanan
5. bagaimana membedakan pewarna alami dan sintetis

Membimbing siswa melaksanakan Kegiatan I (Klasifikasi Zat Pewarna Makanan) yakni LKS 1 No. 1.1 sampai 1.4.

Membimbing diskusi kelas dan menggiring siswa untuk sampai pada kesimpulan bahwa:
(1) penambahan zat pewarna tersebut semata-mata tidak mempengaruhi nilai gizi makanan tapi agar penampilan makanan tersebut lebih menarik untuk memancing selera dan mungkin untuk meningkatkan rasa makanan,
(2) perlunya aturan pemakaian zat pewarna,
(3) ciri-ciri zat pewarna sintetis, (4) kelebihan dan kerugian pemakaian zat pewarna makanan

Menugaskan siswa menjelaskan cara membedakan pewarna sistetis dan alami secara percobaan (LKS 1 No. 1.5)

Memberikan soal tes:
(1) Sebutkan minimal 2 alasan mengapa orang menggunakan pewarna makanan sebagai zat aditif?
(2) Sebutkan minimal 3 contoh pewarna alami
(3) Apa kelebihan pewarna sintetis dibanding alami?
(4) Apa kekurangan pewarna sintetis disbanding alami? Diskusi kelas

Melaksanakan Kegiatan I
Diskusi Kelompok

Presentasi kelompok dan Diskusi Kelas

Melakukan percobaan 1.5
Diskusi Kelompok

Menyelesaikan soal tes secara individual

LKS 1

Jawab pertanyaan-pertanyaan berikut secara berkelompok pada Lembar Jawaban/Pengamatan yang telah disediakan!

1.1 Tuliskan nama dan warna “jajanan” yang tersedia pada kelompok Anda!
1.2 Menurut Anda dari bahan pewarna pada “jajanan” tersebut? (bahan pewarna sintetis atau alami). Jelaskan Jawaban anda!
1.3 Bagaimana ciri-ciri bahan pewarna sintetis dan alami? Bandingkan warna makanan dari kunir atau daun suji dengan warna saus “tanpa merk”!
1.4 Bagaimana cara Anda membedakan bahan makanan yang mengandung zat pewarna sintetis dengan bahan makanan yangmengandung zat pewarna alami?
1.5 Kerjakan kegiatan berikut ini:
Pilih 4 orang anggota kelompokmu, sebut saja siswa A, B, C, dan D
Siswa A : ambil sedikit saos tomat merk “Indofood” lalu oleskan pada telapak tangan kirimu. Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa B : Ambillah sedikit saos tomat dalam botol besar merk “X” lalu oleskan pada telapak tangan kirimu. Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa C : Ambillah sedikit saos tomat “tanpa merk” lalu oleskan pada telapak tangan kirimu. Biarkan saos tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Siswa D : Geruslah sedikit tomat sampai halus, lalu oleskan pada telapak tangan kirimu. Biarkan tomat halus tersebut mengering di tangan kira-kira 15 menit.
Kemudian cucilah tangan Anda dan catat warna yang membekas pada tangan Anda. Tarik kesimpulan percobaan Anda!

2. Siklus II
Skenario
TPK: Siswa dapat menjelaskan dampak pemakaian pewarna berbahaya bagi kesehatan
Fase Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
1

2

3

4

5 Memancing keingintahuan siswa tentang efek interaksi dinding usus sapi dengan bermacam-macam pewarna dengan mengingatkan kembali hasil percobaan 1.5 (pengolesan bermacam-macam pewarna makanan pada kulit).

Menugaskan siswa melaksanakan praktikum efek interaksi dinding usus sapi dengan rhodamin-B (pewarna tekstil), saos bermerk A dan B (LKS 2).

Membimbing diskusi hasil percobaan.

Mengajak siswa mendiskusikan fenomena penyalahgunaan zat warna di masyarakat serta dampaknya bagi kesehatan.

Memberikan soal tes:
(1) Sebutkan cara-cara membedakan pewarna sintetis dan alami
(2) Apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan zat warna?
(3) Apa dampaknya bagi kesehatan? Menjawab pertanyaan guru secara berkelompok

Melaksanakan praktikum

Presentasi kelompok
Diskusi Kelas

Diskusi Kelas

Menyelesaikan soal tes

LKS 2
Lakukan Kegiatan Berikut secara Berkelompok dan Catat Hasil Pengamatan Anda pada Lembar yang Tersedia!
1. Siapkan 10 g saos merk Indofood, Cherry, dan tomat halus, masing-masing larutkan dalam 10 mL air
2. Masukkan larutan-larutan saos tersebut masing-masing ke dalam potongan usus sapi yang sudah diikat salah satu ujungnya.
3. Ikat ujung usus lainnya, kemudian gantung pada statif dan diamkan selama 45 menit.
4. Keluarkan saos dari usus, cuci usus sampai bersih, amati kemungkinan ada tidaknya zat warna yang tertinggal pada dinding usus, catat hasil pengamatanmu pada lembar pengamatan!
5. Tarik kesimpulan dari percobaan ini
3. Siklus 3
Skenario

TPK: siswa dapat mengidentifikasi pewarna berbahaya pada makanan

Fase Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
1

2

3

4

5 Memancing siswa dengan pertanyaan-pertanyaan untuk menjajagi pengetahuan dan wawasan siswa tentang berbahaya tidaknya penyalahgunaan zat-zat pewarna non-makanan untuk makanan.

Menugaskan siswa melaksanakan praktikum identifikasi kandungan pewarna berbahaya (Rhodamin-B) pada bermacam-macam saos dengan teknik kromatografi kertas dan spot test (LKS 3).

Membimbing diskusi hasil percobaan.

Memberikan pertanyaan kepada kelompok siswa:
(1) Apakah teknik kromatografi kertas dapat digunakan untuk mendeteksi zat pewarna pada makanan selain Rhodamin-B?mengapa?
(2) Apakah teknik spot test dapat digunakan untuk mendeteksi zat pewarna pada makanan selain Rhodamin-B?mengapa?

Memberikan soal:
Sebutkan cara-cara fisik dan kimia yang dapat dilakukan untuk mendeteksi pewarna berbahaya pada makanan!
Diskusi kelas

Praktikum

Presentasi kelompok

Diskusi dan presentasi

Menyelesaikan soal tes

LKS 3

3.1 Identifikasi Rhodamin-B pada Sampel dengan Tes Warna
a. Isi 4 lubang pada pelat tetes masing-masing dengan 1 tetes larutan Rhodamin-B
b. Tambahkan lubang 1 dengan setetes H2SO4
Tambahkan lubang 2 dengan setetes HCl
Tambahkan lubang 3 dengan setetes NaOH
Tambahkan lubang 4 dengan setetesNH4OH
c. Biarkan campuran tersebut kurang lebih 2 menit dan amati perubahan warna yang terjadi
d. Lakukan langkah a s.d. c untuk menguji perubahan warna larutan sampel X dan Y bila ditetesi dengan larutan-larutan H2SO4, HCl, NaOH, dan NH4OH
e. Apakah larutan X dan Y mengandung Rhodamin-B

3.2 Identifikasi Rhodamin-B pada Sampel dengan Kromatografi Kertas
a. Ke dalam beaker glass yang dinding bagian dalamnya telah dilapisi kertas saring, masukkan 25 mL larutan eluen
b. Siapkan kertas kromatografi dan buatlah garis melintang sekitar 1 cm
dari kedua ujungnya.
c. Siapkan titik noda larutan Rhodamin-B, larutan X, dan larutan Y pada
salah satu garis melintang tersebut dengan pipa kapiler. Atur ketiga noda tersebut sedemikian rupa sehingga tidak berimpit.
d. Lakukan proses elusi sampai eluen mencapai tanda batas.
e. Angkat dan keringkan kertas dengan cara diangin-anginkan.Bandingkan Rf noda Rhodamin-B, X, dan Y.
f. Tarik kesimpulan dari percobaan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abraham, M.R., Renner J.W.. 1986.The Sequence of Learning Cycle Activity in High School Chemistry. J. of Research in Science Teaching. Vol 23 (2), pp 121-143.

Arifin, M. 1995. Pengembangan Program Pengajaran Bidang Studi Kimia. Surabaya: Airlangga University Press.

Budiasih, E. , Widarti, H.R. 2004. Penerapan Pendekatan Daur Belajar (Learning Cycle) dalam Pembelajaran Matakuliah Praktikum Kimia Analisis Instrumen. Jurnal Pendidikan dan pembelajaran Vol 10 (1), hal 70-78.

Dasna, I.Wayan.2005. Kajian Implementasi Model Siklus Belajar (Learning Cycle) dalam Pembelajaran Kimia. Makalah Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya. FMIPA UM – Dirjen Dikti Depdiknas. 5 September 2005.

Fajaroh, F., Dasna, I.W. 2003. Penggunaan Model Pembelajaran Learning Cycle Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Dan Hasil Belajar Kimia Zat Aditif Dalam Bahan Makanan Pada Siswa Kelas Ii Smu Negeri 1 Tumpang – Malang. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Vol 11 (2) Oktober 2004, hal 112-122.

Hudojo, H. 2001. Pembelajaran Menurut Pandangan Konstruktivisme. Makalah Semlok Konstruktivisme sebagai Rangkaian Kegiatan Piloting JICA. FMIPA UM. 9 Juli 2001.

Iskandar, S.M. 2005. Perkembangan dan Penelitian Daur Belajar. Makalah Semlok Pembelajaran Berbasis Konstruktivis. Jurusan Kimia UM. Juni 2005.

Lorsbach, A. W. 2002. The Learning Cycle as A tool for Planning Science Instruction. Online (http://www.coe.ilstu.edu/scienceed/lorsbach/257lrcy.html, diakses 10 Desember 2002).

Rahayu, S., Prayitno. 2005. Penggunaan Strategi Pembelajaran Learning Cycle-Cooperative Learning 5E (LCC-5E). Makalah Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya. FMIPA UM – Dirjen Dikti Depdiknas. 5 September 2005.

Renner, J.W., Abraham M.R.,Birnie, H.H. 1988. The Necessity of Each Phase of The Learning Cycle ini Teaching High School Physics. J. of Research in Science Teaching. Vol 25 (1), pp 39-58.

Soebagio dkk. 2000. Penggunaan Siklus belajar dan Peta Konsep untuk Peningkatan Kualitas Pembelajaran Konsep Larutan Asam-Basa. PPGSM.

Read More......