Selasa, 28 Oktober 2008

INTEGRAL RANGKAP INTEGRAL GANDA

Integral untuk fungsi satu variable, kita membentuk suatu partisi dari interval [a,b] menjadi interval-interval yang panjangnya Δxk , k = 1, 2, 3, 4, ….n.

clip_image002

Dengan cara yang sama, Kita definisikan integral untuk fungsi dua variable.

Misalkan fungsi z = f(x,y) didefinisikan pada suatu daerah tertutup R di bidang xoy. Kemudian daerah ini dibagi atas n buah sub daerah yang masing-masing luasnya A1 , A2 , A3 …… An

Dalam setiap sub daerah, pilih suatu titik Pk(xk, yk

dan bentuklah jumlah :

clip_image004

Jika jumlah sub daerah makin besar (n→~), maka integral rangkap (lipat dua) dari fungsi f(x,y) atas daerah R didefinisikan :

clip_image006

Untuk menghitung integral lipat dua dapat digunakan integral berulang yang ditulis dalam bentuk :

a. clip_image008clip_image010clip_image012

dimana integral yang ada dalam kurung harus dihitung terlebih dahulu dengan menganggap variable y konstanta, kemudian hasilnya diintegral kembali terhadap y.

b. clip_image008[1]clip_image014clip_image016

dimana integral yang ada dalam kurung harus dihitung terlebih dahulu dengan menganggap variable x konstanta, kemudian hasilnya diintegral kembali terhadap x.

Jika integral lipat dua diatas ada, maka (a) dan (b) secara umum akan memberikan hasil yang sama.

INTEGRAL LIPAT DUA DENGAN BATAS PERSEGI PANJANG

Bentuk umum :

clip_image018

dimana : R = { (x,y) ; a ≤ x ≤ b,c ≤ y ≤ d }

a,b,c dan d adalah konstanta

Contoh :

clip_image020

clip_image022

clip_image024

clip_image026

INTEGRAL LIPAT DUA DENGAN BATAS BUKAN PERSEGI PANJANG

clip_image028

dimana :

R = { (x,y) ; f1(x) ≤ y ≤ f2(x) ,a ≤ x ≤ b }

clip_image030

dimana :

R = { (x,y) ; f1(y) ≤ x ≤ f2(y) ,c ≤ y ≤ d }

Contoh :

clip_image032

clip_image034

clip_image036

clip_image038

APLIKASI INTEGRAL LIPAT DUA

Aplikasi integral lipat dua yang bentuk umumnya : clip_image040

dapat dijelaskan sbb :

1. LUAS

Luas bidang dapat dipandang sebagai integral lipat dua jika f(x,y) = 1 , sehingga integral lipat dua menjadi :

clip_image042

Dalam koordinat polar :

clip_image044

contoh :

Hitung luas daerah yang dibatasi oleh x + y = 2 dan 2y = x + y

Jawab :

clip_image046

Read More......

INOVASI MODEL DAN EVALUASI PEMBELAJARAN

Pengajar, desain pembelajaran, dan peserta didik adalah 3 (tiga) hal yang selalu disebut saat kita ingin berbicara tentang proses pembelajaran. Mengapa demikian ? karena sesungguhnya 3 (tiga) hal tersebutlah yang menjadi motor dalam pergerakan sebuah roda pembelajaran.

Pengajar disini dapat diartikan secara luas, apalagi dalam era internetisasi saat ini. Salah satu dampak yang ditimbulkannya pada dunia pendidikan adalah munculnya metode-metode pembelajaran secara elektronik (elearning atau online learning). Hal tersebut akhirnya berimbas pada cara guru dalam menyampaikan atau membahasakan materi di kelas, dari yang sebelumnya bertutur atau lisan menjadi tulisan. Namun demikian, peran guru atau pengajar di kelas tidak dapat tergantikan karena tidak semua peserta didik mampu belajar dan memahami materi secara mandiri. Untuk mengatasinya adalah dengan cara memblend antara metode klasikal dan elektronik (adanya hybrid instruction).


Menurut Gagne, Briggs, & Wager (dalam Prawiradilaga, 2007) desain pembelajaran membantu proses belajar seseorang, dimana proses belajar itu sendiri memiliki tahapan segera dan jangka panjang. Mereka percaya proses belajar terjadi karena adanya kondisi-kondisi belajar, internal maupun eksternal. Tapi menurut Kemp, Morrison, & Ross (dalam Prawiradilaga, 2007) esensi disain pembelajaran mengacu pada keempat komponen inti, yaitu siswa, tujuan pembelajaran, metode, dan penilaian.

Peserta didik adalah semua individu yang menjadi audiens dalam suatu lingkup pembelajaran. Biasanya penyebutan peserta didik ini mengikuti skup/ruang lingkup dimana pembelajaran dilaksanakan, diantaranya : siswa untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah, mahasiswa untuk jenjang pendidikan tinggi, dan peserta pelatihan untuk diklat.

Peserta didik adalah masukan mentah (raw input) dalam sebuah proses pembelajaran yang harus dithreat agar output dan outcomesnya sesuai dengan yang dicanangkan institusi (khususnya) dan dunia pendidikan Indonesia pada umumnya. Agar keluarannya dapat beradaptasi dengan kemajuan zaman, maka sudah sepatutnya materi dan cara pembelajarannyapun disesuaikan dengan dunia nyata juga. Hal tersebut biasa dikenal dengan model pembelajaran inovatif.

Penilaianpun juga sudah melakukan terobosan atau inovasi. Terbukti, saat ini paper and pen bukanlah satu-satunya cara untuk menilai keberhasilan belajar peserta didik. Asesmen portofolio, autentik, dan lain-lain adalah sedikit dari banyak inovasi cara menilai keberhasilan peserta didik yang lebih menitikberatkan pada proses.

Read More......

EVALUASI PEMBELAJARAN

A. Pengertian Evaluasi Pembelajaran

Sesungguhnya, dalam konteks penilaian ada beberapa istilah yang digunakan, yakni pengukuran, assessment dan evaluasi. Pengukuran atau measurement merupakan suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas sesuatu yang bersifat numerik. Pengukuran lebih bersifat kuantitatif, bahkan merupakan instrumen untuk melakukan penilaian. Unsur pokok dalam kegiatan pengukuran ini, antara lain adalahsebagai berikut:

1). tujuan pengukuran,

2). ada objek ukur,

3). alat ukur, (

4). proses pengukuran,

5). hasil pengukuran kuantitatif.

Sementara, pengertian asesmen (assessment) adalah kegiatan mengukur dan mengadakan estimasi terhadap hasil pengukuran atau membanding-bandingkan dan tidak sampai ke taraf pengambilan keputusan. Sedangkan evaluasi secara etimologi berasal dari bahasa Inggeris evaluation yang bertarti value, yang secara secara harfiah dapat diartikan sebagai penilaian. Namun, dari sisi terminologis ada beberapa definisi yang dapat dikemukakan, yakni:

a). Suatu proses sistematik untuk mengetahui tingkat keberhasilan sesuatu.

b). Kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik dan terarah berdasarkan atas tujuan yang jelas.

c). Proses penentuan nilai berdasarkan data kuantitatif hasil pengukuran untuk keperluan pengambilan keputusan.

Berdasarkan pada berbagai batasan 3 jenis penilaian di atas, maka dapat diketahui bahwa perbedaan antara evaluasi dengan pengukuran adalah dalam hal jawaban terhadap pertanyaan “what value” untuk evaluasi dan “how much” untuk pengukuran. Adapun asesmen berada di antara kegiatan pengukuran dan evaluasi. Artinya bahwa sebelum melakukan asesmen ataupun evaluasi lebih dahulu dilakukan pengukuran

Sekalipun makna dari ketiga istilah (measurement, assessment, evaluation) secara teoretik definisinya berbeda, namun dalam kegiatan pembelajaran terkadang sulit untuk membedakan dan memisahkan batasan antara ketiganya, dan evaluasi pada umumnya diawali dengan kegiatan pengukuran (measurement) serta pembandingan (assessment).

Evaluasi merupakan salah satu kegiatan utama yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam kegiatan pembelajaran. Dengan penilaian, guru akan mengetahui perkembangan hasil belajar, intelegensi, bakat khusus, minat, hubungan sosial, sikap dan kepribadian siswa atau peserta didik. Adapun langkah-langkah pokok dalam penilaian secara umum terdiri dari:

(1) perencanaan,

(2) pengumpulan data,

(3) verifikasi data,

(4) analisis data, dan

(5) interpretasi data.

Penilaian hasil belajar pada dasarnya adalah mempermasalahkan, bagaimana pengajar (guru) dapat mengetahui hasil pembelajaran yang telah dilakukan. Pengajar harus mengetahui sejauh mana pebelajar (learner) telah mengerti bahan yang telah diajarkan atau sejauh mana tujuan/kompetensi dari kegiatan pembelajaran yang dikelola dapat dicapai. Tingkat pencapaian kompetensi atau tujuan instruksional dari kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan itu dapat dinyatakan dengan nilai

B. Tujuan dan Fungsi Evaluasi

Dalam konteks pelaksanaan pendidikan, evaluasi memiliki beberapa tujuan, antara lain sebagai berikut:

1). Untuk mengetahui kemajuan belajar siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.

2). Untuk mengetahui efektivitas metode pembelajaran.

3). Untuk mengetahui kedudukan siswa dalam kelompoknya.

4). Untuk memperoleh masukan atau umpan balik bagi guru dan siswa dalam rangka perbaikan.
Selain fungsi di atas, penilaian juga dapat berfungsi sebagai alat seleksi, penempatan, dan diagnostik, guna mengetahui keberhasilan suatu proses dan hasil pembelajaran. Penjelasan dari setiap fungsi tersebut adalah:

a). Fungsi seleksi. Evaluasi berfungsi atau dilaksanakan untuk keperluan seleksi, yaitu menyeleksi calon peserta suatu lembaga pendidikan/kursus berdasarkan kriteria tertentu.

b). Fungsi Penempatan. Evaluasi berfungsi atau dilaksanakan untuk keperluan penempatan agar setiap orang (peserta pendidikan) mengikuti pendidikan pada jenis dan/atau jenjang pendidikan yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya masing-masing.

c). Fungsi Diagnostik. Evaluasi diagnostik berfungsi atau dilaksanakan untuk mengidentifikasi kesulitan belajar yang dialami peserta didik, menentukan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesulitan belajar, dan menetapkan cara mengatasi kesulitan belajar tersebut.

C. Penilaian Berbasis Kelas

Penilaian Berbasis Kelas (PBK) merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa dengan menerapkan prinsip-prinsip penilaian berkelanjutan, otentik, akurat, dan konsisten dalam kegiatan pembelajaran di bawah kewenangan guru di kelas. PBK mengidentifikasi pencapaian kompetensi dan hasil belajar yang dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai disertai dengan peta kemajuan belajar siswa dan pelaporan. Bila selama dekade terakhir ini keberhasilan belajar siswa hanya ditentukan oleh nilai ujian akhir (EBTANAS/UAN), maka dengan diberlakukannya PBK hal itu tidak terjadi lagi. Naik atau tidak naik dan lulus atau tidak lulus siswa sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru (sekolah) berdasarkan kemajuan proses dan hasil belajar siswa di sekolah bersangkutan. Dalam hal ini kewenangan guru menjadi sangat luas dan menentukan. Karenanya, peningkatan kemampuan profesional dan integritas moral guru dalam PBK merupakan suatu keniscayaan, agar terhindar dari upaya manipulasi nilai siswa.

PBK menggunakan arti penilaian sebagai “assessment”, yaitu kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh dan mengefektifkan informasi tentang hasil belajar siswa pada tingkat kelas selama dan setelah kegiatan pembelajaran. Data atau informasi dari penilaian di kelas ini merupakan salah satu bukti yang digunakan untuk mengukur keberhasilan suatu program pendidikan. PBK merupakan bagian dari evaluasi pendidikan karena lingkup evaluasi pendidikan secara umum jauh lebih luas dibandingkan PBK.

PBK mencakup kegiatan pengumpulan informasi tentang pencapaian hasil belajar siswa dan pembuatan keputusan tentang hasil belajar siswa berdasarkan informasi tersebut. Pengumpulan informasi dalam PBK dapat dilakukan dalam suasana resmi maupun tidak resmi, di dalam atau di luar kelas, menggunakan waktu khusus atau tidak, misalnya untuk penilaian aspek sikap/nilai dengan tes atau non tes atau terintegrasi dalam seluruh kegiatan pembelajaran (di awal, tengah, dan akhir). Di sekolah sering digunakan istilah tes untuk kegiatan PBK dengan alasan kepraktisan, karena tes sebagai alat ukur sangat praktis digunakan untuk melihat prestasi siswa dalam kaitannya dengan tujuan yang telah ditentukan, terutama aspek kognitif.

Bila informasi tentang hasil belajar siswa telah terkumpul dalam jumlah yang memadai, maka guru perlu membuat keputusan terhadap prestasi siswa:

1). Apakah siswa telah mencapai kompetensi seperti yang telah ditetapkan?

2). Apakah siswa telah memenuhi syarat untuk maju ke tingkat lebih lanjut?

3). Apakah siswa harus mengulang bagian-bagian tertentu?

4). Apakah siswa perlu memperoleh cara lain sebagai pendalaman (remedial)?

5). Apakah siswa perlu menerima pengayaan (enrichment)?

6). Apakah perbaikan dan pendalaman program atau kegiatan pembelajaran, pemilihan bahan ajar atau buku ajar, dan penyusunan silabus telah memadai?

Pada pelaksanaan PBK, peranan guru sangat penting dalam menentukan ketepatan jenis penilaian untuk menilai keberhasilan atau kegagalan siswa. Jenis penilaian yang dibuat oleh guru harus memenuhi standar validitas dan reliabilitas, agar hasil yang dicapai sesuai dengan apa yang diharapkan. Untuk itu, kompetensi profesional bagi guru merupakan persyaratan penting. PBK yang dilaksanakan oleh guru, harus memberikan makna signifikan bagi orang tua dan masyarakat pada umumnya, dan bagi siswa secara individu pada khususnya, agar perkembangan prestasi siswa dari waktu ke waktu dapat diamati (observable) dan terukur (measurable). Di samping itu, dengan dilaksanakannya PBK diharapkan dapat:

a). Memberikan umpan balik bagi siswa mengenai kemampuan dan kekurangannya, sehingga menumbuhkan motivasi untuk memperbaiki prestasi belajar pada waktu berikutnya;

b). Memantau kemajuan dan mendiagnosis kesulitan belajar siswa, sehingga memungkinkan dilakukannya pengayaan dan remediasi untuk memenuhi kebutuhan siswa sesuai dengan perkembangan, kemajuan dan kemampuannya;

c). Memberikan masukan kepada guru untuk memperbaiki program pembelajarannya di kelas apabila terjadi hambatan dalam proses pembelajaran;

d). Memungkinkan siswa mencapai kompetensi yang telah ditentukan, walaupun dengan kecepatan belajar yang berbeda-beda antara masing-masing individu;

Memberikan informasi yang lebih komunikatif kepada masyarakat tentang efektivitas pendanaan, sehingga mereka dapat meningkatkan partisipasinya di bidang pendidikan secara serius dan konsekwen.
m Prinsip-prinsip PBK

Sebagai bagian dari kurikulum berbasis kompetensi, pelaksanaan PBK sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan komponen yang ada di dalamnya. Namun demikian, guru mempunyai posisi sentral dalam menentukan keberhasilan dan kegagalan kegiatan penilaian. Untuk itu, dalam pelaksanaan penilaian harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut:

1). Valid

PBK harus mengukur obyek yang seharusnya diukur dengan menggunakan jenis alat ukur yang tepat atau sahih (valid). Artinya, ada kesesuaian antara alat ukur dengan fungsi pengukuran dan sasaran pengukuran. Apabila alat ukur tidak memiliki kesahihan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka data yang masuk salah sehingga kesimpulan yang ditarik juga besar kemungkinan menjadi salah.

2). Mendidik

PBK harus memberikan sumbangan positif pada pencapaian hasil belajar siswa. Oleh karena itu, PBK harus dinyatakan dan dapat dirasakan sebagai penghargaan untuk memotivasi siswa yang berhasil (positive reinforcement) dan sebagai pemicu semangat untuk meningkatkan hasil belajar bagi yang kurang berhasil (negative reinforcement), sehingga keberhasilan dan kegagalan siswa harus tetap diapresiasi dalam penilaian.

3). Berorientasi pada kompetensi

PBK harus menilai pencapaian kompetensi siswa yang meliputi seperangkat pengetahuan, sikap, dan ketrampilan/nilai yang terefleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Dengan berpijak pada kompetensi ini, maka ukuran-ukuran keberhasilan pembelajaran akan dapat diketahui secara jelas dan terarah.

4). Adil dan obyektif

PBK harus mempertimbangkan rasa keadilan dan obyektivitas siswa, tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, latar belakang budaya, dan berbagai hal yang memberikan kontribusi pada pembelajaran. Sebab ketidakadilan dalam penilaian, dapat menyebabkan menurunnya motivasi belajar siswa, karena merasa dianaktirikan.

5). Terbuka

PBK hendaknya dilakukan secara terbuka bagi berbagai kalangan (stakeholders) baik langsung maupun tidak langsung, sehingga keputusan tentang keberhasilan siswa jelas bagi pihak-pihak yang berkepentingan, tanpa ada rekayasa atau sembunyi-sembunyi yang dapat merugikan semua pihak.

6). Berkesinambungan

PBK harus dilakukan secara terus-menerus atau berkesinambungan dari waktu ke waktu, untuk mengetahui secara menyeluruh perkembangan siswa, sehingga kegiatan dan unjuk kerja siswa dapat dipantau melalui penilaian.

7). Menyeluruh

PBK harus dilakukan secara menyeluruh, yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik serta berdasarkan pada strategi dan prosedur penilaian dengan berbagai bukti hasil belajar siswa yang dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pihak.

8). Bermakna

PBK diharapkan mempunyai makna yang signifikan bagi semua pihak. Untuk itu, PBK hendaknya mudah dipahami dan dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Hasil penilaian hendaknya mencerminkan gambaran yang utuh tentang prestasi siswa yang mengandung informasi keunggulan dan kelemahan, minat dan tingkat penguasaan siswa dalam pencapaian kompetensi yang telah ditetapkan.

Selain harus memenuhi prinsip-prinsip umum penilaian, pelaksanaan PBK juga harus memegang prinsip-prinsip khusus sebagai berikut:

Apapun jenis penilaiannya, harus memungkinkan adanya kesempatan yang terbaik bagi siswa untuk menunjukkan apa yang mereka ketahui dan pahami, serta mendemonstrasikan kemampuan yang dimilikinya; Setiap guru harus mampu melaksanakan prosedur PBK dan pencatatan secara tepat prestasi yang dicapai siswa.
m Keunggulan PBK

Penilaian Berbasis Kelas (PBK) merupakan salah satu komponen dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Penilaian ini dilaksanakan oleh guru secara variatif dan terpadu dengan kegiatan pembelajaran di kelas, oleh karena itu disebut penilaian berbasis kelas (PBK). PBK dilakukan dengan pengumpulan kerja siswa (portofolio), hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja/penampilan (performance), dan tes tertulis (paper and pencil). Guru menilai kompetensi dan hasil belajar siswa berdasarkan level pencapaian prestasi siswa. Karenanya, PBK dapat dikatakan sebagai bentuk penilaian yang paling komprehensip.

Harus disadari oleh semua pihak, bahwa sesungguhnya guru itulah yang paling mengetahui kemampuan atau kemajuan belajar siswa, bukan kepala sekolah, pengawas, apalagi pejabat struktural di Departemen atau Dinas Pendidikan. Sebab, gurulah yang sehari-hari berkomunikasi dan berinteraksi dengan siswa di dalam kelas dan di lingkungan sekolah. Dengan demikian, PBK yang memberi kewenangan sangat leluasa kepada guru untuk menilai siswa merupakan suatu keunggulan agar diperoleh hasil belajar yang akurat sesuai dengan kemampuan siswa yang sebenarnya. Selain itu, di dalam PBK guru tentu tidak dapat menilai sekehendak hatinya, melainkan harus menyampaikan secara terbuka kepada siswa untuk menyepakati bersama kompetensi yang telah dicapai oleh siswa dan standar nilai yang diberikan oleh guru.
m Pelaksanaan PBK

Penilaian dilakukan terhadap hasil belajar siswa berupa kompetensi sebagaimana yang tercantum dalam KBM setiap mata pelajaran. Di samping mengukur hasil belajar siswa sesuai dengan ketentuan kompetensi setiap mata pelajaran masing-masing kelas dalam kurikulum nasional, penilaian juga dilakukan untuk mengetahui kedudukan atau posisi siswa dalam 8 level kompetensi yang ditetapkan secara nasional.

Penilaian berbasis kelas harus memperlihatkan tiga ranah yaitu: pengetahuan (koknitif), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotorik) Ketiga ranah ini sebaikanya dinilai proposional sesuai dengan sifat mata pelajaran yang bersangkutan. Sebagai contoh pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (Al-Quran, Aqidah-Akhlaq, fiqh, dan tarikh) penilaiannya harus menyeluruh pada segenap aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, dengan mempertimbangkan tingkat perkembangan siswa serta bobot setiap aspek dari setiap materi. Misalnya kognitif meliputi seluruh mata pelajaran, aspek afektif sangat dominan pada materi pembelajaran akhlak, PPkn, seni. Aspek psikomotorik sangat dominan pada mata pelajaran fiqh, membaca Al Quran, olahraga, dan sejenisnya. Begitu juga halnya dengan mata pelajaran yang lain, pada dasarnya ketiga aspek tersebut harus dinilai.

Hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian adalah prinsip kontinuitas, yaitu guru secara terus menerus mengikuti pertumbuhan, perkembangan dan perubahan siswa. Penilaiannya tidak saja merupakan kegiatan tes formal, melainkan juga:

1). Perhatian terhadap siswa ketika duduk, berbicara, dan bersikap pada waktu belajar atau berkomunikasi dengan guru dan sesama teman;

2). Pengamatan ketika siswa berada di ruang kelas, di tempat ibadah dan ketika mereka bermain;

3). Mengamati siswa membaca Al-Qur an dengan tartil (pada setiap awal jam pelajaran selama 5 – 10 menit)

Dari berbagai pengamatan itu ada yang perlu dicatat secara tertulis terutama tentang perilaku yang ekstrim/menonjol atau kelainan pertumbuhan yang kemudian harus diikuti dengan langkah bimbingan. Penilaian terhadap pengamatan dapat digunakan observasi, wawancara, angket, kuesioner, sekala sikap dan catatan anekdot (anecdotal record).

D. Teknik Penilaian Proses dan Hasil Belajar

Untuk keperluan evaluasi diperlukan alat evaluasi yang bermacam-macam, seperti kuesioner, tes, skala, format observasi, dan lain-lain. Dari sekian banyak alat evaluasi, secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni alat tes dan nontes. Khusus untuk evaluasi hasil pembelajaran alat evaluasi yang paling banyak digunakan adalah tes. Oleh karena itu, pembahasan evaluasi hasil pembelajaran dengan lebih menekankan pada pemberian nilai terhadap skor hasil tes, juga secara khusus akan membahas pengembangan tes untuk meningkatkan validitas dan reliabilitas tes sebagai alat evaluasi.
1). Teknik Tes

Tes secara harfiah berasal dari bahasa Prancis kuno “testum” artinya piring untuk menyisihkan logam-logam mulia. Tes adalah serangkaian pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, kecerdasan, kemampuan, atau bakat yang dimiliki oleh sesesorang atau kelompok.

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dijelaskan bahwa tes merupakan alat ukur yang berbentuk pertanyaan atau latihan, dipergunakan untuk mengukur kemampuan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang. Sebagai alat ukur dalam bentuk pertanyaan, maka tes harus dapat memberikan informasi mengenai pengetahuan dan kemampuan obyek yang diukur. Sedangkan sebagai alat ukur berupa latihan, maka tes harus dapat mengungkap keterampilan dan bakat seseorang atau sekelompok orang.

Tes merupakan alat ukur yang standar dan obyektif sehingga dapat digunakan secara meluas untuk mengukur dan membandingkan keadaan psikis atau tingkah laku individu.Dengan demikian berarti sudah dapat dipastikan akan mampu memberikan informasi yang tepat dan obyektif tentang obyek yang hendak diukur baik berupa psikis maupun tingkah lakunya, sekaligus dapat membandingkan antara seseorang dengan orang lain.

Jadi dapat disimpulkan bahwa tes adalah suatu cara atau alat untuk mengadakan penilaian yang berbentuk suatu tugas atau serangkaian tugas yang harus dikerjakan oleh siswa atau sekelompok siswa sehingga menghasilkan nilai tentang tingkah laku atau prestasi siswa tersebut. Prestasi atau tingkah laku tersebut dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan intruksional pembelajaran atau tingkat penguasaan terhadap seperangkat materi yang telah diberikan dalam proses pembelajaran, dan dapat pula menunjukkan kedudukan siswa yang bersangkutan dalam kelompoknya.

Dalam kaitan dengan rumusan tersebut, sebagai alat evaluasi hasil belajar, tes minimal mempunyai dua fungsi, yaitu:

a). Untuk mengukur tingkat penguasaan terhadap seperangkat materi atau tingkat pencapaian terhadap seperangkat tujuan tertentu.

b). Untuk menentukan kedudukan atau perangkat siswa dalam kelompok, tentang penguasaan materi atau pencapaian tujuan pembelajaran tertentu.

Fungsi (a) lebih dititikberatkan untuk mengukur keberhasilan program pembelajaran, sedang fungsi (b) lebih dititikberatkan untuk mengukur keberhasilan belajar masing-masing individu peserta tes.
2). Tes Menurut Tujuannya

Dilihat dari segi tujuannya dalam bidang pendidikan, tes dapat dibagi menjadi:

a). Tes Kecepatan (Speed Test)

Tes ini bertujuan untuk mengevaluasi peserta tes (testi) dalam hal kecepatan berpikir atau keterampilan, baik yang bersifat spontanitas (logik) maupun hafalan dan pemahaman dalam mata pelajaan yang telah dipelajarinya. Waktu yang disediakan untuk menjawab atau menyelesaikan seluruh materi tes ini relatif singkat dibandingkan dengan tes lainnya, sebab yang lebih diutamakan adalah waktu yang minimal dan dapat mengerjakan tes itu sebanyak-banyaknya dengan baik dan benar, cepat dan tepat penyelesaiannya. Tes yang termasuk kategori tes kecepatan misalnya tes intelegensi, dan tes ketrampilan bongkar pasang suatu alat.

b). Tes Kemampuan (Power Test)

Tes ini bertujuan untuk mengevaluasi peserta tes dalam mengungkapkan kemampuannya (dalam bidang tertentu) dengan tidak dibatasi secara ketat oleh waktu yang disediakan. Kemampuan yang dievaluasi bisa berupa kognitif maupun psikomotorik. Soal-soal biasanya relatif sukar menyangkut berbagai konsep dan pemecahan masalah dan menuntut peserta tes untuk mencurahkan segala kemampuannya baik analisis, sintesis dan evaluasi.

c). Tes Hasil Belajar (Achievement Test)

Tes ini dimaksudkan untuk mengevaluasi hal yang telah diperoleh dalam suatu kegiatan. Tes Hasil Belajar (THB), baik itu tes harian (formatif) maupun tes akhir semester (sumatif) bertujuan untuk mengevaluasi hasil belajar setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dalam suatu kurun waktu tertentu. Makalah ini akan lebih banyak memberikan penekanan pada tes hasil belajar ini.

d). Tes Kemajuan Belajar ( Gains/Achievement Test)

Tes kemajuan belajar disebut juga dengan tes perolehan adalah tes untuk mengetahui kondisi awal testi sebelum pembelajaran dan kondisi akhir testi setelah pembelajaran. Untuk mengetahui kondisi awal testi digunakan pre-tes dan kondisi akhir testi digunakan post-tes.

e). Tes Diagnostik (Diagnostic Test)

Tes diagnostik adalah tes yang dilaksanakan untuk mendiagnosis atau mengidentifikasi kesukaran-kesukaran dalam belajar, mendeteksi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesukaran belajar, dan menetapkan cara mengatasi kesukaran atau kesulitan belajar tersebut.

f). Tes Formatif

Tes formatif adalah penggunaan tes hasil belajar untuk mengetahui sejauh mana kemajuan belajar yang telah dicapai oleh siswa dalam suatu program pembelajaran tertentu.

g). Tes Sumatif

Istilah sumatif berasal dari kata “sum” yang berarti jumlah. Dengan demikian tes sumatif berarti tes yang ditujukan untuk mengetahui penguasaan siswa dalam sekumpulan materi pelajaran (pokok bahasan) yang telah dipelajari.
3). Bentuk Tes

Dilihat dari jawaban siswa yang dituntut dalam menjawab atau memecahkan persoalan yang dihadapinya, maka tes hasil belajar dapat dibagi menjadi 3 jenis :

a). Tes lisan (oral test)

b). Tes tertulis (written test)

c). Tes tindakan atau perbuatan (performance test)

Penggunaan setiap jenis tes tersebut seyogyanya disesuaikan dengan kawasan (domain) perilaku siswa yang hendak diukur. Misalnya tes tertulis atau tes lisan dapat digunakan untuk mengukur kawasan kognitif, sedangkan kawasan psikomotorik cocok dan tepat apabila diukur dengan tes tindakan, dan kawasan afektif biasanya diukur dengan skala perilaku, seperti skala sikap.

1. Bentuk Soal Pilihan Ganda

Keunggulan dari bentuk soal pilihan ganda ini, antara lain adalah sebagai berikut:

a). Pensekoran mudah, cepat, serta objektif

b). Dapat mencakup ruang lingkup bahan/materi yang luas

c). Mampu mengungkap tingkat kognitif rendah sampai tinggi.

Sementara, selain memilliki keunggulan, soal pilihan ganda juga memiliki kelemahan, antara lain adalah sebagai berikut:

a). Menuliskan soalnya relatif lebih sulit dan lama

b). Memberi peluang siswa untuk menebak jawaban

c). Kurang mampu meningkatkan daya nalar siswa.

2. Bentuk Soal Uraian

Keunggulan dari bentuk soal uraian ini, antara lain adalah sebagai berikut:

a). dapat mengukur kemampuan mengorganisasikan pikiran,

b). menganalisis masalah, dan mengemukakan gagasan secara rinci

c). relatif mudah dan cepat menuliskan soalnya

d). mengurangi faktor menebak dalam menjawab

Sementara, selain memiliki keunggulan, soal uraian juga memiliki kelemahan, antara lain adalah sebagai berikut:

a). jumlah materi (PB/SPB) yang dapat diungkap terbatas

b). Pengoreksian/scoring lebih sukar dan subjektif

c). tingkat reliabilitas soal relaitf lebih rendah
4). Ciri-ciri Tes yang Baik

Sebuah test dapat dikatakan baik sebagai alat pengukur harus memenuhi kriteria, yaitu memiliki validitas, reliabilitas, objektivitas, praktikabilitas dan ekonomis

a). Validitas

Sebuah alat pengukur dapat dikatakan valid apabila alat pengukur tersebut dapat mengukur apa yang hendak diukur secara tepat. Demikian pula dalam alat-alat evaluasi. Suatu tes dapat dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila tes itu tersebut betul-betul dapat mengukur hasil belajar. Jadi bukan sekedar mengukur daya ingatan atau kemampuan bahasa saja misalnya.

Untuk lebih mendukung memahami pengertian tersebut selanjutnya akan diuraikan beberapa macam kriteria validitas, yaitu:

1). Content validity (validitas isi)

Pengujian jenis validitas ini dilakukan secara logis dan rasional karena itu disebut juga rational validity atau logical validity.Batasan content validity ini menggambarkan sejauh mana tes mampu mengukur materi pelajaran yang telah diberikan secara representatif dan sejauh mana pula tes dapat mengukur sampel yang representatif dari perubahan-perubahan perilaku yang diharapkan terjadi pada diri siswa. Dengan demikian suatu tes hasil belajar disebut memiliki validitas tinggi secara content, bila tes tersebut sudah dapat mengukur sampel yang representatif dari materi pelajaran (subject matter) yang diberikan, dan perubahan-perubahan perilaku (behavioral changes) yang diharapkan terjadi pada diri siswa. Misalnya apabila kita ingin memberikan tes bahasa inggris untuk kelas II, maka item-itemnya harus diambil dari bahan pelajaran kelas II. Kalau diambilnya dari kelas III maka tes itu tidak valid lagi.

2). Predictive validity (validitas ramalan)

Validitas ramalan artinya ketepatan (kejituan) suatu alat pengukur ditunjau dari kemampuan tes tersebut untuk meramalkan prestasi yang dicapainya kemudian. Suatu tes hasil belajar dapat dikatakan mempunyai validitas ramlan yang tinggi, apabila hasil yang dicapai siswa dalam tes tersebut betul-betul meramalakan sukses tidaknya siswa tersebut dakam pelajaran-pelajaran yang akan datang. Cara yang digunakan untuk mengukur tinggi rendahnya validitas ramalan ialah dengan mencari korelasi antara nilai-nilsi yang dicapai oleh anak-anak dalam tes tersebut dengan nilai-nilai yang dicapai kemudian.

3). Concurent validity (Validitas bandingan)

Kejituan suatu tes dilihat dari korelasinya terhadap kecakapan yang telah dimiliki saat kini secara riil. Cara yang digunakan untuk menilai validitas bandingan ialah dengan jalan mengkorelasikan hasil-hasil yang dicapai dalam tes tersebut dengan hasil-hasil yang dicapai dalam tes yang sejenis yang telah diketahui mempunyai validitas yang tinggi (misalnya tes standar).

4). Construct Validity (validitas konstruk/susunan teori)

Yaitu ketepatan suatu tes ditinjau dari susunan tes tersebut. Misalnya kalau kita ingin memberikan tes kecakapan ilmu pasti, kita harus membuat soal yang ringkas dan jelas yang benar-benar akan mengukur kecakapan ilmu pasti, bukan mengukur kemampuan bahasa karena soal itu ditulis secara berkepanjangan dengan bahasa yang sulit dimengerti.

b). Reliabilitas

Reliabilitas berasal dari kata reliable yang berarti dapat dipercaya. Reliabilitas suatu tes menunjukan atau merupakan sederajat ketetapan, keterandalan atau kemantapan (the level of consistency) tes yang bersangkutan dalam mendapatkan data (skor) yang dicapai seseorang, apabila tes tersebut diberikan kepadanya pada kesempatan (waktu) yang berbeda., atau dengan tes yang pararel (eukivalen) pada waktu yang sama. Atau dengan kata lain sebuah tes dikatakan reliable apabila hasil-hasil tes tersebut menunjukan ketetapan, keajegan, atau konsisten. Artinya, jika kepada para siswa diberikan tes yang sama pada waktu yang berlainan, maka setiap siswa akan tetap berada dalam urutan (ranking) yang sama dalam kelompoknya.

Read More......

Senin, 27 Oktober 2008

PENDEKATAN REALISTIK DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

A. Pendahuluan

Selama ini masih banyak orang yang menganggap bahwa matematika tidaklah lebih dari sekedar berhitung dan bermain dengan rumus dan angka-angka. Melalui suatu angket yang dilaksanakan oleh Hendra Gunawan (Pikiran Rakyat, 1998, yang dimuat dalam www.geocities.com/ratuilma/linkframeset_indo.htm1 ), ditanyakan kepada sejumlah mahasiswa baru yang pada waktu itu baru saja diterima di Perguruan Tinggi terkemuka di negara kita, “Menurut Anda, matematika itu apa ? “ Jawaban yang diperoleh hampir seragam, yaitu matematika adalah ilmu hitung-menghitung yang senantiasa berurusan dengan rumus dan angka-angka.


Selama ini kita mungkin menerima begitu saja pengajaran matematika di sekolah, tanpa mempertanyakan mengapa atau untuk apa matematika harus diajarkan. Tidak jarang muncul keluhan bahwa matematika cuma bikin pusing siswa (dan juga orang tuanya) dan dianggap sebagai momok yang menakutkan oleh sebagian siswa. Begitu beratnya gelar yang disandang matematika yang membuat kekawatiran pada prestasi belajar matematika siswa. Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi rasa bosan pada matematika adalah faktor penyampaian materi atau metode pembelajaran matematika yang monoton dan itu-itu saja.

Matematika adalah ilmu yang berkembang sejak ribuan tahun lalu dan masih tumbuh subur hingga kini. Tidak mungkin bisa semuanya diajarkan kepada siswa di sekolah. Jadi, seharusnya bukan materi yang kita kejar, tetapi tujuannya. Penting untuk diingat oleh penyusun kurikulum matematika, juga guru di lapangan, agar materi tidak terlalu padat, sehingga siswa punya waktu cukup untuk mengendapkan apa yang telah diperoleh dan mengembangkan kemampuan berpikir secara optimal.

Pada dasarnya, matematika adalah pemecahan masalah karena itu, matematika sebaik -nya diajarkan melalui berbagai masalah yang ada disekitar siswa dengan memperhatikan usia dan pengalaman yang mungkin dimiliki siswa.

Berdasarkan tujuan/keinginan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap matematika dan meminimalkan anggapan-anggapan negatif terhadap matematika yang membuat para ahli pendidikan matematika di Indonesia berupaya mencari terobosan baru menemukan metode pembelajaran matematika lain dengan mengacu pada pengalaman di negara lain dan dengan melihat karakteristik yang dimungkinkan dapat diujicobakan juga di Indonesia.

Ada 3 pendekatan yang cukup mendasar, yaitu “pemecahan masalah” atau “problem solving” yang mendapat keutamaan di Jepang, “contextual teaching and learning” ataupun “connected mathematics” yang mulai dilaksanakan di sebagian Amerika dan “Realistic Mathematics Education” yang sudah melalui proses ujicoba dan penelitian lebih dari 25 tahun di Belanda.(R.Soedjadi,2001).

B. Realistic Mathematics Education

Salah satu faktor penyebab rendahnya pengertian siswa terhadap konsep-konsep mate -matika adalah pola pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru. Pembelajaran matematika di Indonesia dewasa ini, “dunia nyata” hanya digunakan untuk mengaplikasikan konsep dan kurang mematematisasi “dunia nyata”. Bila dalam pembelajaran di kelas, pengalaman anak sehari-hari dijadikan inspirasi penemuan dan pengkonstruksian konsep (pematematisasian pengalaman sehari-hari) dan mengaplikasikan kembali ke “dunia nyata” maka anak akan mengerti konsep dan dapat melihat manfaat matematika. (I Gusti Putu Suharta, 2001).

Realistic Mathematics Education adalah suatu teori dalam pendidikan matematika yang berdasarkan pada ide bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan matematika harus dihubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan sehari-hari siswa sebagai suatu sumber pengembangan dan sebagai area aplikasi melalui proses matematisasi baik horizontal maupun vertikal. (www.geocities.com/Athens/crete).

Teori Realistic Mathematics Education pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda sejak 31 tahun lalu (sejak tahun 1970) oleh Institut Freudenthal dan menunjuk -kan hasil yang baik, berdasarkan hasil The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2000. (Ahmad Fauzan, 2001).

Menurut Freudenthal (Ahmad Fauzan, 2001), aktivitas pokok yang dilakukan dalam Realistic Mathematics Education meliputi : menemukan masalah-masalah/ soal-soal kontekstual (looking for problems), memecahkan masalah (solving problems), dan mengorganisir bahan ajar (organizing a subject matter). Hal ini dapat berupa realitas-realitas yang perlu diorganisir secara matematis dan juga ide-ide matematika yang perlu diorganisir dalam konteks yang lebih luas. Kegiatan pengorganisasian seperti ini disebut matematisasi.

Dalam Realistic Mathematics Education, siswa belajar mematematisasi masalah-masalah kontekstual. Dengan kata lain, siswa mengidentifikasi bahwa soal kontekstual harus ditransfer ke dalam soal bentuk matematika untuk lebih dipahami lebih lanjut, melalui penskemaan, perumusan dan pemvisualisasian. Hal tersebut merupakan proses matematisasi horizontal. Sedangkan matematisasi vertikal, siswa menyelesaikan bentuk matematika dari soal kontekstual dengan menggunakan konsep, operasi dan prosedur matematika yang berlaku dan dipahami siswa.(Dian Armanto, 2001).

Sehingga dalam matematisasi horizontal berangkat dari dunia nyata masuk ke dunia symbol sedangkan matematisasi vertikal berarti proses/pelaksanaan dalam dunia symbol. (www.geocities.com/ratuilma/rme).

Realistic Mathematics Education mempunyai lima karakteristik (www.geocities.com/ Athens/crete), yaitu :

1. menggunakan konteks yang real terhadap siswa sebagai titik awal untuk belajar.
2. menggunakan model sebagai suatu jembatan antara real dan abstrak yang membantu siswa belajar matematika pada level abstraksi yang berbeda.
3. menggunakan produksi siswa sendiri atau strategi sebagai hasil dari mereka “ doing mathematics”.
4. interaksi adalah penting untuk belajar matematika antara guru dan siswa, siswa dan siswa.
5. keterkaitan antara unit-unit matematika dan masalah-masalah yang ada dalam dunia ini.

Dalam RME, mengambil sesuatu dari dunia nyata, mematematisasinya dan merefleksi -kan, kemudian membawanya kembali ke dunia nyata, yang oleh De Lange (1987) disebut sebagai matematisasi konseptual dan aplikasi digambarkan dalam skema berikut :













Abstraksi dan Formalisasi

Menurut Zulkardi (www.geocities.com) ide berikut ini dapat digunakan bila memulai pelajaran menggunakan metode realistik :

1. Materi RME lebih dari sekedar menghitung yaitu membangun kemampuan berpikir dan berargumentasi yang dapat dipakai oleh siswa selamanya. Materi yang dipakai berbeda dengan materi lama.

2. Kebanyakan soal dapat diselesaikan lebih dari satu strategi atau solusi. Tujuannya adalah untuk mendiskusikan perbedaan strategi memutuskan mana yang terbaik untuk soal itu. Dalam contoh guru akan menanya siswa tertentu untuk menjelaskan idenya dan di lain waktu siswa tertentu akan diminta mendengarkan dan menganalisa jawaban temannya.
3. Siswa bisa bekerja sendiri atau berdua atau dalam grup kecil untuk mendapat kesempatan banyak menjelaskan pikiran dan pengertiannya.

Suksesnya implementasi materi RME tergantung pada kemampuan guru untuk membuat suatu iklim di mana siswa mau mencoba berpikir dengan cara baru dan mengkomunikasi -kan apa yang dihasilkannya. Jika guru menghargai perbedaan jawaban siswa, maka siswa akan respek untuk mencoba idenya. Untuk memberi semangat atau motivasi di antara siswa, perlu juga menggunakan perkataan seperti :

Dengar penjelasan temanmu, atau, Bagaimana hal ini berbeda dengan jawabanmu ?

Jika mereka kesulitan di grupnya, maka diskusi kelas akan membantu. Terutama hal evaluasi strategi mana yang paling cocok untuk suatu masalah. (www.geocities.com/Athens/crete)

D. Pelaksanaan RME di Indonesia

Memperhatikan keberhasilan Belanda dan negara-negara lain dalam pendidikan matematika dengan menggunakan pendekatan realistic (RME), maka ditempuh langkah awal dengan mengembangkan pilot proyek implementasi pembelajaran matematika realistic di Bandung, Yogyakarta dan Surabaya.

Beberapa ahli pendidikan matematika di Indonesia telah sepakat menggunakan nama PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) untuk pendekatan baru yang sedang diujicobakan.

Berikut ini diberikan hasil pelaksanaan uji coba PMRI yang dilaksanakan di Yogyakarta yaitu SD Kanisius Demangan Baru dan MIN Yogyakarta II (berdasarkan hasil workshop pengembangan pembelajaran matematika secara realistik tanggal 4 – 11 Juli 2001 di P3G Matematika di Yogyakarta, yang disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik pada tanggal 14-15 November 2001) :

1. Proses belajar mengajar :

a. Siswa belajar secara individual (atau berkelompok) dengan menyelesaikan masalah-masalah yang sudah disiapkan guru dalam kelas.

b. Beberapa siswa disuruh maju ke depan kelas menjelaskan bagaimana dia menyelesaikan suatu soal dengan caranya sendiri/meragakannya dengan menggunakan alat peraga yang telah disiapkan.

c. Guru memotivasi siswa menemukan sendiri cara mereka dan berani mengemukakan caranya itu kepada teman dalam kelompok atau di depan kelas.

2. Keunggulan yang diperoleh dari pengalaman kedua sekolah tersebut selama melakukan uji coba terbatas dapat disarikan sebagai berikut :

1. Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan realitas yang ada disekitar siswa.
2. Karena siswa membangun sendiri pengetahuannya maka siswa tidak mudah lupa dengan materi.
3. Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban ada nilainya.
4. Melatih siswa untuk terbiasa berpikir dan berani mengemukakan pendapat.
5. Pendidikan budi pekerti, misal : saling kerjasama dan menghormati teman yang sedang berbicara.

3. Kelemahan :

a. karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih kesulitan dalam menemukan sendiri jawabannya.

b. untuk memahami satu materi pelajaran dibutuhkan waktu yang cukup lama.

c. membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu.

d. belum ada pedoman penilaian , sehingga guru merasa kesulitan dalam evaluasi/memberikan nilai.

E. Penutup

Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian berkaitan dengan pengalaman yang diperoleh dari hasil pelaksanaan ujicoba pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik di Yogyakarta (Sutarto Hadi, 2001) :

1. Materi kurikulum PMRI.

Diperlukan materi kurikulum dengan konteks Indonesia. Mengembangkan sendiri materi kurikulum PMRI dengan konteks Indonesia akan memakan waktu yang panjang karena harus melalui rangkaian :

a. olah pikir (pengembang mendesain materi PMR yang relevan dengan kurikulum yang berlaku)

2. ujicoba dengan kelompok kecil siswa (oleh pengembang sendiri).
3. revisi berdasarkan hasil uji coba skala kecil.
4. uji coba oleh guru di kelas; dan
5. revisi berdasarkan hasil uji coba di kelas.

Berkaitan dengan pengembangan materi kurikulum PMR beberapa hal berikut perlu mendapat perhatian :

1. konteks yang dipilih harus dikenal baik oleh siswa
2. bahasa yang digunakan harus sederhana dan jelas
3. gambar harus mendukung konsep

Apabila upaya mengembangkan sendiri materi tidak memungkinkan dalam waktu singkat, dapat dilakukan adaptasi terhadap materi PMR yang sudah ada. Namun ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian :

1. tidak setiap konteks dapat langsung diadopsi.
2. Apabila konteks yang ingin diadaptasi dirasa cukup dikenal, selanjutnya adalah penerjemahan soal yang menyertai konteks tersebut.
3. Sedapat mungkin konteks dapat menjelaskan pesan yang ingin disampaikan tanpa penjelasan lisan.
4. Gambar dapat mempengaruhi siswa

2. Persepsi Guru tentang PMRI.

Persepsi yang akan diuraikan ini adalah persepsi guru selama pelatihan PMR :

a. Sebagian besar guru matematika mempunyai tanggapan yang positif, PMR dirasakan sebagai sesuatu yang dibutuhkan.

2. Guru dapat melihat proses belajar dan berpikir matematika dalam menemukan konsep yang dipelajari siswa.
3. PMR memberikan harapan kepada guru dalam menghadapi persoalan berkaitan dengan manfaat belajar matematika.
4. Kehadiran PMR dirasakan oleh guru dapat mengubah pendekatan yang kering dan mekanistik menjadi lebih menyenangkan dan bermakna baik bagi guru maupun para siswa.
5. Bagi sebagian guru kehadiran PMR ditanggapan dengan kekawatiran.
6. Guru merasa lebih aman jika PMR diterapkan hanya untuk topik-topik tertentu dan diberikan sebagai selingan dari materi dan metode yang sudah biasa diterapkan oleh guru selama ini.
7. Bagi guru PMR tidak akan berhasil apabila sistem penilaian masih menggunakan sistem EBTANAS.

3. Reaksi Siswa terhadap PMR.

Adanya perubahan reaksi siswa karena perubahan orientasi pendidikan dari “teacher- centered learning” ke “pupil-centered learning”, yaitu :

a. Bagi sebagian siswa, PMR tidak mudah dan menjadikan frustasi, karena siswa terbiasa selalu menerima penjelasan dari guru dan tidak terbiasa untuk berpikir kreatif dan mempelajari sendiri atau menemukan sendiri konsep yang dipelajari.

2. Perubahan yang sangat ekstrim yang ditanggapi siswa ada dua kategori yaitu lebih menuntut (cenderung negatif) yang dimaknai sebagai memaksa siswa untuk berpikir dan bekerja matematika yang lebih keras dan memeras energi, dan lebih menantang (cenderung positif) yang dimaknai sebagai membangkitkan motivasi siswa untuk belajar sehingga tidak bosan.

Daftar Pustaka

Armanto, Dian. 2001. “Alur Pembelajaran Perkalian dan Pembagian Dua Angka dalam Pendidikan Matematika Realistik (PMR).”, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14- 15 November 2001.

Fauzan, Ahmad. 2001. “ Pendidikan Matematika Realistik: Suatu Tantangan dan Harapan.” , disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14- 15 November 2001.

Hadi, Sutarto. 2001. ‘PMRI : Beberapa Catatan Sebelum Melangkah Lebih Jauh.”, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14 – 15 November 2001.

Maier, Herman. 1985. Kompendium Didaktik Matematika. Bandung : CV Remadja Karya.

Marpaung, Y. 2001. Pendekatan Realistik dan Sani dalam Pembelajaran Matematika, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14 – 15 November 2001.

Ratini, dkk. 2001. Pengalaman dalam Melaksanakan Uji Coba Pembelajaran Matematika secara Realistik di MIN Yogyakarta II, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14 – 15 November 2001.

Soedjadi, R. 2001. Pembelajaran Matematika Berjiwa RME, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14 – 15 November 2001.

Suharta, I Gusti Putu. 2001. “Penerapan Pembelajaran Matematika Realistik untuk Mengembangkan Pengertian Siswa.”, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14- 15 November 2001.

Sutarsih, Ignatia. 2001. Pengalaman dalam Uji Coba Pembelajaran Matematika secara Realistik, disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 14 – 15 November 2001.

Read More......